Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebaikan Kecil Menjelang Natal di Kaki Klabat

26 Desember 2021   09:30 Diperbarui: 27 Desember 2021   20:52 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak Klabat yang masih diselimuti kabut Minggu pagi (26/12/2021) | Dokumentasi Pribadi

Saya tinggal di kaki gunung Klabat--yang salah satu kisah pendakiannya bisa dibaca di sini-- yang selalu sejuk. Apalagi di musim penghujan seperti sekarang ini, airnya segera akan terasa baru dikeluarkan dari kulkas. 

Sebagai nomad yang baru menyelesaikan perjalanan Timur ke Barat, tidak banyak tempat yang pernah saya datangi memiliki anugerah air yang seperti ini. 

Ini baru soal air bersih di bawah gunung yang memiliki ketinggian 2.020 meter. Belum lagi letaknya yang berada di antara jalur Manado-Airmadidi-Bitung. 

Manado yang sedang tumbuh menjadi pusat konsumsi baru dan Bitung yang berkembang sebagai kawasan pelabuhan laut yang sibuk dan penting, saya merasa sedang berada di dua lokomotif yang sedang adu cepat. Ada hiruk-pikuk, kemacetan dan mobilitas (ambisi) manusia yang berkejaran setiap pekan. 

Maksud saya, di Airmadidi, masih tersedia hidup yang tidak selalu bergegas. Agak romantik, sih. Yang jelas saya masih menemukan para peladang dan hasil kebun mereka seperti pepaya, jagung, ubi hingga buah-buahan serupa pisang, rambutan dan durian yang dijajakan di pinggir jalan. 

Atau kalau menyusuri jalur Airmadidi ke Likupang (yang kini dipersiapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Super Prioritas), kita akan menemukan para peternak mujair dan kolam yang mengalir sepanjang waktu.

Jejak peladang dan peternak mujair ini bergantian hadir di tengah ekspansi perumahan baru, restoran ikan bakar dan kedai kopi. Airmadidi seperti rumah yang meletakkan segala kesibukan di luar halaman. Rumah bagi jeda terhadap irama urban. 

Saya juga sesekali mendaki ke bukit kecil di sebelah Klabat. Kaki Dian namanya. Dari elevasi sekitar 400 mdpl, saya bisa melihat teluk Manado yang gagah menghadap ke Pasifik. Perasaan yang tak bisa saya dapatkan ketika berada di Manado lantas menghadap ke Klabat.

Melengkapi semua kebaikan bentang alam di sekitar gunung Klabat, saya juga dilindungi kehidupan sosial yang cukup hangat. 

Di sebuah kompleks dengan jalan kecil beraspal kasar yang menyambungkan ruas jalan Soekarno dan jalan raya Airmadidi-Bitung, rumah kami bertetangga dengan 5 orang kepala keluarga. 4 di antaranya advent. Mereka memang tak merayakan Natal. 

Walau pemukiman ini hanya dihuni oleh segelintir umat manusia, jangan menilai biografi para penghuninya hanya orang-orang yang tumbuh besar di kampung kecil. Salah satu sosok yang mula-mula membuat saya terkejut adalah seorang paruh baya, mungkin menuju umur 70an. Kami mengenalnya dengan panggilan opa Boy. 

Sejak muda, opa Boy sudah merantau ke negeri Paman Sam. Istri dan semua anak-anaknya kini menetap di sana. Orangnya energik, ramah dan suka sekali berbagi; khas karakter manusia Minahasa. Jika pergi ke kebun dan memanen jagung, misalnya, pasti akan dibagikan dengan tetangganya. 

Pada awal penetapan status pandemi Covid-19, opa Boy sempat tertahan di sini. Hampir setahun lamanya. Sekarang beliau sudah balik lagi.  

Selain itu, jika ada perayaan seperti ulang tahun anggota keluarga, mereka akan mengundang kami. Sebaliknya, jika sedang ada syukuran pertambahan usia atau merayakan Lebaran, kami akan berbagi sedikit makanan dengan mereka. Intinya, saling berbagi kegembiraan dan persaudaraan.

Ada juga, satu sosok yang selalu saya ingat. Namanya om Roni. Om Roni adalah keponakan opa Boy. Dulu pernah ditugasi menjaga rumah selama ditinggal ke Amerika Serikat. Kini om Roni sudah pindah ke salah satu kompleks yang terletak lebih di atas dari tempat kami. 

Om Roni pernah bantu-bantu sebuah Non-Goverment Organization dan ditugaskan ke Sorong, Papua. Seketika saja kami menjadi akrab sebab saya merasa menemukan saudara sekampung di perantauan. Om Rani selalu bersedia kami mintai tolong, kecuali sedang berhalangan hari Sabat atau kesibukan yang lain. 

Om Roni juga menanam banyak pisang jenis Goroho. Mengutip artikel di Kompas, dikatakan jika pisang goroho merupakan hasil persilangan antara pisang jenis Musa balbisiana dan Musa acuminata. Hasilnya, daging pisang terasa lezat dan khas. Selain itu, kandungan dalam pisang goroho dipercaya dapat mengurangi kolesterol, serta mengobati penyakit darah tinggi dan diabetes. 

Pernah sekali waktu ada pisang yang sudah siap dipanen. Karena om Roni tak ada, saya juga tak melakukan apa-apa. Sampai akhirnya buahnya tak lagi terlihat. Entah diambil siapa. 

"Om, kemarin ada pisang yang so boleh mo ambe," kata saya waktu kami bertemu di depan sebuah toko.

"Kalo ada yang so boleh panen, ambe jo." Katanya.

Wah. Kalau tahu begitu...hehehe. Begitulah om Roni, apa yang pernah ditanamnya tak untuk dinikmatinya sendiri. 

Jika opa Boy dan om Roni adalah sosok yang cukup akrab dengan saya, ada satu sosok yang juga menebar kebaikan kecil walau hampir tak pernah saya temui. Rumahnya berpagar keliling dan terletak persis di tikungan yang mendaki. Namanya om Stenly. 

Saya hanya sesekali berpapasan dengannya ketika bersamaan berangkat kerja di pagi hari. Kadang menyapa dengan sahutan klakson. 

Pertemuan saya dengannya secara langsung, face-to-face maksudnya, malah baru terjadi di awal pandemi covid-19. Saat itu saya sedang mengurus perpindahan alamat Kartu Keluarga dari domisili lama. Harus dimulai dengan meminta pengantar dari Kepala Lingkungan (Pala).

Sesudah selesai dengan administrasi, Pala terus bertanya.

"Ada berapa KK ngoni di situ?"

Sesudah saya jelaskan, Pala bilang begini."Ngoni katu belum ambil bantuan. Nanti ngana isi ini daftar, wakili jo, kong tolong bawa yang satu ini punya ne."

"Siaap Om Pala," kata saya. Pulangnya saya sekalian membawa dua bantuan sembako untuk keluarga om Stenly dan buat di rumah. Lumayanlah, ada beras, minyak goreng dan gula. Ternyata kewargaan saya masih dicacah negara, hihihi.

Sembako pandemi yang mengantar saya ketemu om Stenly.

Saya jadi ingat kisah sembako ini karena pada pagi kemarin, sehari sebelum Natal. Om Stenly mengantar sekarung beras berberat 5 kg. Saya tidak tahu ada apa karena beliau seorang advent. Yang jelas peristiwa ini adalah kebaikan kecil yang tumbuh diam-diam di sebuah kompleks kecil. 

Kebaikan kecil ini bukan saja mengingatkan saya pada opa Boy atau Om Roni. 

Namun yang tak kalah pentingnya adalah mengawetkan hangat persaudaraan anak manusia yang melengkapi hidup yang sejuk di bawah kaki Klabat. Tentang pentingnya merawat kebaikan kecil dan kebersamaan yang baku-baku jaga.

Terutama di musim pandemi covid-19 yang membuka kedok dari betapa rapuhnya manusia di hadapan virus. Kerapuhan yang juga menandai dari jejak krisis yang mengantarai hubungan manusia dengan alam dan sesamanya.  

Selamat merayakan Natal untuk semua saudara Kristiani. Semoga kebahagiaan selalu menyertai Anda semua.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun