Jika opa Boy dan om Roni adalah sosok yang cukup akrab dengan saya, ada satu sosok yang juga menebar kebaikan kecil walau hampir tak pernah saya temui. Rumahnya berpagar keliling dan terletak persis di tikungan yang mendaki. Namanya om Stenly.Â
Saya hanya sesekali berpapasan dengannya ketika bersamaan berangkat kerja di pagi hari. Kadang menyapa dengan sahutan klakson.Â
Pertemuan saya dengannya secara langsung, face-to-face maksudnya, malah baru terjadi di awal pandemi covid-19. Saat itu saya sedang mengurus perpindahan alamat Kartu Keluarga dari domisili lama. Harus dimulai dengan meminta pengantar dari Kepala Lingkungan (Pala).
Sesudah selesai dengan administrasi, Pala terus bertanya.
"Ada berapa KK ngoni di situ?"
Sesudah saya jelaskan, Pala bilang begini."Ngoni katu belum ambil bantuan. Nanti ngana isi ini daftar, wakili jo, kong tolong bawa yang satu ini punya ne."
"Siaap Om Pala," kata saya. Pulangnya saya sekalian membawa dua bantuan sembako untuk keluarga om Stenly dan buat di rumah. Lumayanlah, ada beras, minyak goreng dan gula. Ternyata kewargaan saya masih dicacah negara, hihihi.
Sembako pandemi yang mengantar saya ketemu om Stenly.
Saya jadi ingat kisah sembako ini karena pada pagi kemarin, sehari sebelum Natal. Om Stenly mengantar sekarung beras berberat 5 kg. Saya tidak tahu ada apa karena beliau seorang advent. Yang jelas peristiwa ini adalah kebaikan kecil yang tumbuh diam-diam di sebuah kompleks kecil.Â
Kebaikan kecil ini bukan saja mengingatkan saya pada opa Boy atau Om Roni.Â
Namun yang tak kalah pentingnya adalah mengawetkan hangat persaudaraan anak manusia yang melengkapi hidup yang sejuk di bawah kaki Klabat. Tentang pentingnya merawat kebaikan kecil dan kebersamaan yang baku-baku jaga.