Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Krisis (di) Juventus?

1 November 2021   15:20 Diperbarui: 1 November 2021   19:08 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekspresi kapten Juventus Paulo Dybala dan penyerang Federico Bernardeschi. Juventus lagi-lagi menderita kekalahan mengejutkan, kali ini dari Hellas Verona pada Minggu (31/10/2021) dini hari WIB.| Sumber: AFP/MARCO BERTORELLO via Kompas.com

Kemenangan Giovanni Simeone, dkk menegaskan trend buruk domestik Juventus mazhab Allegri yang konservatif itu. 

Jenis konservatisme sebagaimana yang sudah saya sampaikan di Demikianlah Juventus Mazhab Allegri Itu... Ada sedikit optimisme di artikel itu mengingat pengalaman kepelatihannya yang panjang di Serie A.

Salah satunya adalah pendekatan yang tepat manakala mengambil alih kepelatihan Conte. Allegri tergolong yang sukses dalam mengelola transisi-paskadominasi-domestik (kalimat yang diulang-ulang selalu, heuheu).

Kinerja awal musim Allegri juga sempat disebut membuat Juventus jauh lebih solid dan efektif, dibanding yang dikerjakan Pirlo dahulu. Namun, dua kekalahan beruntun dari Sassualo dan Verona menunjukan ada fundamental yang tak juga beres.

Dengan kata lain, musim kali ini sepertinya bukan situasi yang mudah sesudah dua musim Allegri absen melatih.  Atau, jangan-jangan sedang mengalami perkembangan ke arah krisis? 

Kita bisa menyebut situasi krisis adalah manakala sistem Allgeri gagal menjalankan fungsi-fungsi secara baik, berkembang dan maksimal dalam pencapaian target. Atau jika ditilik dari arah eksternal, sistemnya gagal mengenali dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan atau atmosfer persaingan serta perubahan dari identitas yang berkontestasi.

Misalnya dengan gagal mengenali "atraktivisme merusak" yang sedang tumbuh bersama Internya-Simone Inzaghi, stabilitas yang makin dewasa dari Milannya-Pioli atau "dinamisme konstan" yang bekerja di Napolinya-Spaletti. 

Dengan keluhan Mourinho perihal komposisi skuadnya yang tak memungkinkan rotasi yang seimbang, AS Roma rasanya sudah tidak layak disebut sebagai kandidat pemburu scudetto.

Skuad Juventus yang menderita sesudah dihajar Verona dalam lanjutan Serie A giornata ke-11 | Foto AFP via Suara.com
Skuad Juventus yang menderita sesudah dihajar Verona dalam lanjutan Serie A giornata ke-11 | Foto AFP via Suara.com

Soal krisis (di) Juventus. Hingga giornata ke-11, Dybala dkk cuma menghasilkan 15 poin. Selisih poin yang sama yang menjaga jarak dengan pemuncak klasmen, Napoli. Napoli bersama Milan adalah dua yang masih belum terkalahkan, penuh tekad, dan tengah lapar kemenangan. 

Poin milik Juventus ini sejajar dengan yang capaian Verona dan Empoli, dua tim yang telah memberikan kekalahan mengenaskan ke Nyonya Tua. Lebih celaka lagi, tim ini cuma bisa bikin 15 gol dan kebobolan 15 juga alias gol difference-nya NOL.

Jadi, sebenarnya 'La Vecchia Signora' edisi ke-2 Max Allegri ini sedang menderita apa di Serie A? Apa yang tidak cukup bekerja dengan baik?

Pembanding terdekatnya adalah situasi kompetitif di Liga Champions Eropa. Bergabung di grup H bersama juara bertahan Chelsea, Zenith, dan Malmo, 3 laga mereka hadapi dengan hasil sempurna. Bukan sebatas itu, mereka juga belum kebobolan dan bikin 5 gol. Tanpa cacat di puncak grup sejauh ini.

Tentu saja situasi kompetisi Serie A yang lebih intens dan dinamis tidak bisa disamakan dengan putaran Liga Champions. Selain pendekatan atau cara bermain dimana setiap tim diharuskan bekerja keras di setiap pekan untuk menjaga tetap berada di level siap tempur. Ada juga narasi dendam historis yang menjaga persaingan selalu memiliki titik didihnya sendiri-sendiri. 

Pertanyaannya akan tetap sama, mengapa stabilitas yang pragmatis khas Juventus di persaingan para juara Eropa tak memiliki korelasi dengan persaingan domestik?

Kita mungkin tidak terlalu perlu mengulik statistik masa lalu untuk menduga-duga arah Juventus di musim ini. Misalnya dengan membandingkan permulaan buruk ini serupa dengan musim kompetisi 1941/42, tahun 1968/69 dan 1970/71. 

Di tiga musim ini, Juventus gagal finis di 4 besar. Bedanya, saat itu Serie A masih menggunakan sistem 2 poin untuk hasil menang dan 1 untuk hasil imbang.    

Mungkin kita perlu melihat situasi kekinian dan lebih kedalam. Sumbernya adalah pernyataan Allegri dan Dybala, yang mengambil tanggung jawab sebagai kapten tim musim ini. 

Sesudah kekalahan dari Verona, seperti yang termuat di Football Italia, Allegri bilang kalau skuad Juventus harus menerima kenyataan jika mereka tidak lebih baik dari Verona dan harus menemukan kembali kerendahan hati untuk kembali bertarung merebut poin. Juventus harus terima kenyataan jika status mereka adalah petarung papan tengah (mid-table team)

Senada dengan hal itu, Dybala juga mengatakan di laman yang sama, "Kita harus ingat bahwa kita adalah Juventus dan kita harus menghormati seragam ini, sejarahnya, juga para juara hebat yang memakainya di masa lalu." 

Sebagai pamungkasnya, pria berkebangsaan Argentina ini mengatakan dengan sendu, "Kami harus mengambil pelajaran, rendah hati, dan segera fokus pada Selasa di Liga Champions."

Pernyataan allenatore dan kapten bisa kita dirujuk sebagai testimoni yang valid, maka dari padanya, tidakkah problem yang berurusan dengan mentalitas tanding yang seperti ini bisa dipahami sebagai sejenis krisis identitas dan karena itu juga merupakan pernyataan tanda bahaya?

Pasang surut dalam mentalitas tanding adalah persoalan semua tim. Karena itu, seorang pelatih dibayar bukan sebatas berurusan dengan aspek-aspek teknis. Akan tetapi, menuntut kinerja yang seimbang antara yang teknis, filosofis dan mentalitas. 

Ketiga unsur ini pun mesti ditopang oleh kebijakan di level manajemen klub. 

Salah satu contoh yang menarik dari situasi bangkit dari keterpurukan sesudah dominasi yang panjang dan transisi kepelatihan yang tak juga mencapai puncak adalah dengan melihat sejarah kehadiran Jurgen Klopp di Liverpool. Klopp membutuhkan sekurangnya 5 tahun untuk mengembalikan "The Reds" ke kasta elite domestik juga Eropa. 

Kerja keras yang bersaing dengan kehadiran Pep Guardiola di Man City, Pochettino yang mapan di Hotspurs atau ambisi juara Chelsea yang seperti tak ada ujungnya. Menyebut Klopp dan Liverpool sebagai contoh sejarah kekinian memang akan terlihat sebagai perbandingan apel vs mangga. Tapi poinnya begini. 

Mentalitas yang pasang surut bukanlah peristiwa yang sepi dari riwayat Juventus di Serie A. Tak ada pengecualian. Dalam periode kepelatihan Pirlo, ketika Juventus memenangkan duel Supercup melawan Napoli, Chiellini masih juga mengatakan jika kunci kemenangan adalah sebab mereka bermain hebat sebagai sebuah tim, kala menyerang ataupun bertahan. 

Pendek kata, kolektivitas yang solid. Kolektivitas yang hanya mungkin jika mereka hadir dengan mentalitas lapar kemenangan dan kesediaan berkorban bagi kepentingan tim. Tak ada pongah, merendahkan lawan atau individualisme yang infantile. 

Jadi, kiranya akan jauh lebih baik jika saja Dybala dan Allegri tidak mengulang problem begini sebagai refleksi atas kekalahan mengenaskan kepada klub yang menggunakan moto Fino Alla Fine. Sebab mengutip Septian Nugraha di Pandit Football: 

..Bagi Juventus dan para penggemarnya, 'Fino alla fine' bukan sekadar kata atau slogan pemberi semangat kala Bianconeri bertarung di lapangan hijau. Lebih dari pada itu, ungkapan tersebut mengandung makna yang menggambarkan karakter Juventus sebagai kesebelasan yang tak pernah mengenal kata menyerah. Terus bertarung, hingga akhir walau dalam kondisi sesulit apapun...  

Ini musim masih permulaan, walau dimulai dengan buruk. Krisis juga belum menunjukan gejalanya yang konstan. 

Sebagai perwakilan suara cinta garis pinggiran dan pastinya sok tahu dong, Max Allegri sebaiknya segera menemukan kembali mentalitas lapar kemenangan dan mati-matian berjibaku di lapangan itu. Tidak lagi menyalahkannya sebagai elemen yang seolah terpisah dari sistem yang dipilih dalam bermain. 

Kita tunggu saja apa yang menjadi penemuan kembali Allegri dengan melihat bagaimana Juventus meladeni Zenith. Selanjutnya hadangan jadwal berat dengan meladeni Fiorentina, Lazio, Chelsea serta Atalanta. Biarkan Mourinho semata wayang yang sibuk mengomentari ketimpangan dalam komposisi skuadnya.

Di luar itu, saya kira kritik terhadap situasi yang terpuruk ini seharusnya dialamatkan ke para pembesar di klub. 

Jika Anda ingin menghadirkan Juventus yang baru maka tempuhlah opsinya dengan serius. Anda tidak bisa menggunakan ide-ide Sarri yang ofensif atau menguji Pirlo yang berparadigma sama lantas kembali kepada Allegri yang mazhabnya menjaga warisan nenek moyang. Beranilah sebagaimana Liverpool memilih Klopp. 

So, kalau mau putus dari masa lalu, jangan berjalan dengan kepala menghadap belakang. Kayak abege labil saja Anda sekalian. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun