Sebagai pamungkasnya, pria berkebangsaan Argentina ini mengatakan dengan sendu, "Kami harus mengambil pelajaran, rendah hati, dan segera fokus pada Selasa di Liga Champions."
Pernyataan allenatore dan kapten bisa kita dirujuk sebagai testimoni yang valid, maka dari padanya, tidakkah problem yang berurusan dengan mentalitas tanding yang seperti ini bisa dipahami sebagai sejenis krisis identitas dan karena itu juga merupakan pernyataan tanda bahaya?
Pasang surut dalam mentalitas tanding adalah persoalan semua tim. Karena itu, seorang pelatih dibayar bukan sebatas berurusan dengan aspek-aspek teknis. Akan tetapi, menuntut kinerja yang seimbang antara yang teknis, filosofis dan mentalitas.Â
Ketiga unsur ini pun mesti ditopang oleh kebijakan di level manajemen klub.Â
Salah satu contoh yang menarik dari situasi bangkit dari keterpurukan sesudah dominasi yang panjang dan transisi kepelatihan yang tak juga mencapai puncak adalah dengan melihat sejarah kehadiran Jurgen Klopp di Liverpool. Klopp membutuhkan sekurangnya 5 tahun untuk mengembalikan "The Reds" ke kasta elite domestik juga Eropa.Â
Kerja keras yang bersaing dengan kehadiran Pep Guardiola di Man City, Pochettino yang mapan di Hotspurs atau ambisi juara Chelsea yang seperti tak ada ujungnya. Menyebut Klopp dan Liverpool sebagai contoh sejarah kekinian memang akan terlihat sebagai perbandingan apel vs mangga. Tapi poinnya begini.Â
Mentalitas yang pasang surut bukanlah peristiwa yang sepi dari riwayat Juventus di Serie A. Tak ada pengecualian. Dalam periode kepelatihan Pirlo, ketika Juventus memenangkan duel Supercup melawan Napoli, Chiellini masih juga mengatakan jika kunci kemenangan adalah sebab mereka bermain hebat sebagai sebuah tim, kala menyerang ataupun bertahan.Â
Pendek kata, kolektivitas yang solid. Kolektivitas yang hanya mungkin jika mereka hadir dengan mentalitas lapar kemenangan dan kesediaan berkorban bagi kepentingan tim. Tak ada pongah, merendahkan lawan atau individualisme yang infantile.Â
Jadi, kiranya akan jauh lebih baik jika saja Dybala dan Allegri tidak mengulang problem begini sebagai refleksi atas kekalahan mengenaskan kepada klub yang menggunakan moto Fino Alla Fine. Sebab mengutip Septian Nugraha di Pandit Football:Â
..Bagi Juventus dan para penggemarnya, 'Fino alla fine' bukan sekadar kata atau slogan pemberi semangat kala Bianconeri bertarung di lapangan hijau. Lebih dari pada itu, ungkapan tersebut mengandung makna yang menggambarkan karakter Juventus sebagai kesebelasan yang tak pernah mengenal kata menyerah. Terus bertarung, hingga akhir walau dalam kondisi sesulit apapun... Â
Ini musim masih permulaan, walau dimulai dengan buruk. Krisis juga belum menunjukan gejalanya yang konstan.Â