Seorang lelaki telah berjuang minggat dari tanah airnya. Tapi bukan sembarang minggat.Â
Ia juga ingin bisa minggat dari masa lalunya.Sayang sekali, ingatan dan kenangan bukan lembar-lembar kertas putih yang ditulis hanya untuk menegaskan apa fungsi dari pena. Atau seperti gula terhadap kopi, yang disangka bisa menghentikan rasa pahit.
Ia seorang pengarang. 26 tahun sudah berdiam di pusat kontrol dunia, New York, Amerika Serikat. Meninggalkan alam pedesaan County Tyrone, Irlandia Utara yang hijau, masyarakat yang akrab dan keseharian nan bersahaja. Entah bagaimana, tiba-tiba saja, ia mengalami stagnasi parah sesudah menjadi terkenal.Â
Bukan saja buntu dan tergulung kedalam. Ia bahkan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ia memberanikan diri pulang. Lelaki itu Matt Donelly namanya.
Di kampung halamannya, Matt adalah kepulangan yang berwatak ganda. Ia tak dikehendaki (lagi) oleh Katie, kekasih sejak masa sekolah dasar yang menantinya bertahun lama. Juga sosok Declan, sahabat kecilnya, yang menikahi Katie. Â
Sedang di kutub sebelah, Matt dirindukan oleh romo Gerry Donelly, keluarganya yang masih tersisa. Gerry tahu jika Matt telah menabung kesia-siaan dan frustasi karena pilihannya berlari dari masa lalunya. Dan, Paudy, juga seorang kawan masa kecil dengan kebutuhan khusus yang tak ingin Matt dicelakai oleh Declan, sebagaimana dulu ketika di ruang kelas. Kala itu Matt dihajar oleh gurunya yang abusif.Â
Maka jelas sudah, frustasi dan kebuntuan ini hanyalah simtom. Ada "hantu" dari masa lalu yang mesti ditemuinya. Hantu itu adalah kekerasan, kekalutan dan kedukaan. Kepulangan sesudah tahun-tahun yang getir sesungguhnya adalah tamasya kedalam krisis jika kita tak pernah benar-benar berdamai dengannya.
Jadi, bagaimanakah kisah perjumpaan kembali Matt Donelly sesudah 26 tahun dengan masa lalunya boleh berbuah rekonsiliasi? Sekurang-kurangnya, boleh membuat penulis yang sedang dalam stagnasi total menemukan kembali energi kreatifnya?
Â
Cerita dengan fokus pada drama pergulatan diri anak manusia ini bisa dinikmati dalam "A Bend in the River". Film semibiografi yang ceritanya dikarang dan disutradarai orang yang sama: Colin Broderick. Colin Broderick adalah seorang pengarang yang telah menulis tiga buku. Orangutan: A Memoir (2009), That's That: A Memoir (2013) dan Church End (2020).
Film berdurasi 1 jam 25 menit ini diproduksi tahun 2020 bukan saja menyoroti jejak pergulatan krisis dalam diri para tokohnya. Misalnya pada sosok Katie, yang lembut dan manis.Â
Perempuan dengan riwayat penantian yang tanpa kabar itu tidak menjadi alasan untuk memelihara dendam. Pernikahannya dengan Declan hanya kedok, sejenis siasat yang diarahkan sebagai peredam gosip orang desa. Sampai Matt kembali, cintanya yang sepi tak pernah benar-benar mati.Â
Declan, sahabat masa kecilnya, masih saja hidup dengan kemarahan tanpa ujung. Kecemasannya karena Katie masih belum benar-benar terbebas dari bayang-bayang Matt hanyalah pemicu kecil. Ada yang lebih bara dari andai mesti kehilangan Katie.
Dalam dendam seorang Declan, kita seharusnya memahami biografi seorang pejuang yang bertarung untuk selamat dari krisis kekerasan politik serta bertahun-tahun menghadirkan kebahagiaan bagi perempuan yang tak menghendakinya. Lantas bagaimana mungkin ada seseorang yang kembali dari pelarian dan ingin mengambil itu semua? Orang Manado bilang, "Hei, ngana gila stow!"
Atau romo Gerry yang tetap setia menjaga rumah masa kecil dimana Matt diasuh ibunya dengan penuh kasih sayang. Gerry menata rumah itu tetap seperti sedia kala, seolah saja ia ingin memberi pesan jika masa lalu yang penuh cinta itu pernah ada di rumah kecil ibunya sekalipun kehidupan di luar sana pernah mengerikan bagi Matt.
Atau seorang perempuan berambut pirang, penjaga toko kecil. Ia ditampilkan sebagai kesenangan sesaat yang menawarkan diri kepada penulis yang tersesat dalam kesedihan, trauma akan kekerasan dan kekalutan. Pada suatu malam yang hujan, perempuan ini datang, menebarkan pesona, rayuan dan adegan kemudian berpindah...Â
Tapi film ini juga secara indah, menghadirkan lansekap pedesaan Irlandia yang dipenuhi pepohonan pinus, lumut, dan sungai yang tenang. Lansekap yang ingin mengingatkan penonton pada sebuah nostalgia, barangkali juga surga kecil, yang masih bertahan melewati perubahan, krisis dan peralihan generasi. Lansekap yang daya magisnya dilatari musik tradisional Irlandia.
Tak ada hiruk pikuk di tempat seperti ini. Tak ada perburuan kesenangan yang memaksa warganya hidup seperti mesin, kaku dan terburu-buru. Di County Tyrone, di mana masa kecil Matt dibentuk, ada dunia sehari-hari yang sejatinya hangat walau tak imun dari trauma dan kehancuran.Â
Dalam "A Bend In The River", dunia yang terbentuk melalui konfigurasi seperti di atas bukanlah alasan untuk membawa Matt kedalam narasi roman picisan. Semisal ia yang pulang memenangkan kembali cinta Katie, menyingkirkan Declan entah lewat duel puputan atau terserah mau sang sutradara, hingga menemukan kembali energi kreatifnya sebagai penulis best seller. Pendek kata, Matt menjadi perwakilan sosok negara maju yang tak pernah kalah di film-film perang dengan dunia ketiga.Â
Sebaliknya yang terjadi: Katie memilih menjadikan momen perjumpaan kembalinya sebagai pernyataan yang tegas untuk berdamai dengan penantian panjang yang menyakitkan. Sedang Declan tetap memaksa sahabat kecilnya kembali ke pelariannya; tak menjadi masa lalu yang mengacaukan masa depan.
Puncak dari drama pencaharian diri penulis ini adalah keberanian Matt membesuk guru sekolahnya yang abusif. Sang guru telah sakit-sakitan, terbaring di ranjang, namun memiliki ingatan yang masih jernih. Perjumpaan ini adalah momen terakhir, katalisator, yang menghantar Matt menerima energi besar.Â
Energi yang selama ini tak cukup siap dimasukinya, membelenggu kedalam rasa bersalah dan menjeratnya kedalam krisis eksistensial. Energi itu adalah kemampuan untuk memaafkan (the Power of Forgiveness) dan berdamai. Â
Di laman Hollywood Reporter, sang sutradara bilang jika film ini adalah puisi cintanya untuk Irlandia Utara. Colin juga bilang film ini tentang kemampuan untuk memaafkan. Memaafkan (dan berdamai dengan) hantu-hantu yang akan selalu menyertai riwayat biografis sang tokoh: trauma kekerasan, kedukaan dan kekalutan. Puisi cinta yang kiranya cukup memikat.
Walau hanya meraih rating 5,7 di situs Internet Movie Database, film ini boleh mewakili narasi yang bertutur perihal betapa sulitnya manusia menerima trauma masa lalu dan mampu berdamai sepanjang hidupnya.Â
Di dalam sana, manusia bukan saja hidup dalam dunia yang selalu terbuka kepada segala macam kemungkinan. Namun juga harus terus menerus berjuang untuk tidak jatuh pada kekacauan diri dan penghancuran kolektif. Separah apapun rasa sakit itu.
Saya rasa begitu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H