Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Demikianlah Juventus Mazhab Allegri Itu...

30 September 2021   10:12 Diperbarui: 30 September 2021   20:04 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usually, when sailors are in stormy seas, they can always find the way out. That's what we did tonight with a great game against the Champions of Europe Max Allegri (dikutip dari Football Italia)

Para bos Juventus akhirnya memutuskan memulai musim 2021/2022 dengan opsi yang konservatif.

Hal mana ditandai dengan, pertama, ketidakcukupsabaran menghadapi instabilitas khas transisi paskadominasi yang dilakoni oleh dua suksesor, coach Sarri dan Pirlo. Dua suksesor yang jika ukurannya gelar, bukanlah keputusan yang buruk-buruk amat.

Kedua, memilih mengembalikan Max Allegri, sang penguasa 4 musim beruntun dengan dua final liga Champions yang "masih harus diperjuangkan dengan lebih keras dan keras lagi" (demikianlah cara membahasakan kekalahan beruntun yang tragis).

Sesudah dua musim hilang dari orbit teratas Serie A, apa yang bisa diharapkan dari allenatore yang kini tak memiliki superstar serupa CR7?

Di tahun masih bertarung melawan pandemi Covid-19 ini, "La Vecchia Signora" dan Allegri juga tak luput dengan keharusan adaptasi. Dalam rangka itu, Juventus harus menderita 2 kekalahan menjengkelkan di awal musim, kalau bukan mencemaskan banyak Juventini. Kalah dari Empoli di markas sendiri dan Napoli di stadion Diego Armando Maradona.

Walhasil, Dybala, dkk sempat terlempar di papan bawah---menjadi bagian dari semenjana yang bertahun-tahun melawan ancaman degradasi semata. Juventus lalu disebut menjalani start buruk sesudah musim 1961/62. Di musim orde baru belum menetas ini, dari 34 laga, Nyonya Tua cuma bisa menang 10 kali, 15 kali kalah dan sisanya seri. Omar Sivori, dkk berakhir di posisi 12!

Masalahnya, di kota sebelah yang penuh gairah melanjutkan sejarah mengkudeta kaisar, pergantian pelatih malah menghadirkan performa positif yang lebih meledak lagi konstan.

Inter Milan, misalnya. Di tangan Simone Inzaghi, bermain lebih agresif dan atraktif. Lukaku yang pergi dan meningalkan luka di hati Interisti karena ternyata lebih cinta Chelsea, tidak menjadi ketergantungan yang serius. Dzeko yang sudah masuk ukuran tuwir masih bisa bermain sangar.

Lalu AC Milan, yang masih rukun dengan Om botak nan modis, Stefano Pioli. Demikian juga Napoli yang di tangan Luciano Spalleti kini memimpin puncak klasmen. Semua memulai musim dengan "on fire". Oh ya, tiga nama ini disebut karena tengah berada di tiga besar.

Dus, bagaimana AS Roma dengan "The Special One"? Sempat membuat Romanisti mabuk kemenangan, "I Lupi" tak butuh waktu lama guna menabung dua kekalahan. Dari Verona dan musuh dunia akhiratnya, Lazio yang ditangani rezim Sarriball. Euforia mendadak kembali ke tanah. Dibanding Juventus, Roma hanya lebih baik karena belum mengumpulkan hasil seri.

Semoga Mou yang kembali dari daratan Inggris dengan riwayat sebagai pecatan itu tidak mendapat julukan---dalam sebutan orang Manado hari ini---The Special La Mou: Lala Mou-lu! Lelah mulut doang alias tersisa bacot yang gede. Heheu.

Tentu saja musim masih panjang, walau tak sepanjang pandemi yang mutasi virusnya mungkin hanya kalah cepat dengan penyakit lupa politisi (!)

Sebab itu juga, mengikuti keyakinan Marcello Lippi kepada Allegri, saya kira sosok yang satu ini akan menemukan identitas bermainnya. Persis yang dilakukannya terhadap warisan Conte dengan 3 musim yang superdordinat. Optimisme dan kesempatan tetap harus disediakan.

Identitas bermain yang saya maksud adalah mengembalikan pertahanan yang solid dan seimbang serta efektifitas dalam menyerang. Dengan kata lain, Juventus tidak akan ngotot harus sedominan gaya Sarriball atau di dalam filosofi Pirlo.


Artinya menjadi menjemukan atau jauh dari kemampuan menghibur? Tidak usah ditanyakan, di catatan sejarah dua nama sebelumnya, Juventus tak pernah jauh pergi dari membosankan. Untuk apa sepakbola menghibur tanpa gelar? Klise? Lah, memangnya ada jawaban yang lebih baik dari ini?

Subuh barusan, pernyataan ini terjadi. Menghadapi sang juara Champions musim lalu, Bonucci, dkk bermain lebih bertahan. Tanpa Dybala atau Morata, Allegri memilih memasang (Lord) Bernardeschi dan Chiesa---yang kembali menjadi "Special Weapon"---dibanding memainkan Kean.

Walau mengusung skema 4-3-3, segera kelihatanlah jika Juventus akan menumpuk manusia di tengah, menjaga kerapatan antar ruang dan pergerakan, lantas mencuri malapetaka lewat serangan balik mematikan warisan leluhur. Dalam skema itu juga, Bernardeschi dan Cuadrado yang walau sering banyak gaya dan kehilangan momentum, masih lebih baik dibandingkan Kulusevski dalam fungsi ini.

Sedang Chelsea yang gemar bermain cepat dan umpan pendek seperti diberikan atmosfir yang diinginkan. Setidaknya tak seperti kekalahan tipis 0-1 dari Man City sebelum tandang ke Allianz Stadium. Kali ini mereka akan datang untuk dominan dan berharap bisa merajalele, eh, merajalela.

Seperti apa statistik yang tercatat?

"The Blues" yang mengharapkan pelampiasan dan mengakhiri kutukan Italia (dalam 5 perjumpaan dengan tim dari Negeri Pizaa tak pernah menang) bermain dengan penguasaan bola hingga 66%. Tapi, tak ada ancaman yang sungguh-sungguh merepotkan Wojciech Szczesny yang sejujurnya sedang dalam trend buruk.

Lukaku yang sedang tajam-tajamnya hampir tak berkutik. Pertama karena pengawalan ketat duet De Ligt-Bonucci dan blocking yang sukses dijalani oleh sang idola baru, mari kita sebut dengan gembira, Locatelli. Demikian juga dengan De Ligt yang kembali tampil kalem.

Chelsea gagal total. Hasil yang memaksa manajer Tuchel berkesimpulan, "I felt we were a bit slow and tired, mentally slow, decision making. That's why it's a strange one to analyse." Sebagaimana dimuat dalam Football Italia juga.

Jika Lukaku, dkk sampai terlihat lelah, lamban secara mental dan pengambilan keputusan, tidakkah itu sama mengatakan taktik Allegri telah menciptakan kebuntuan yang seksama dalam tempo 90 menit?

Itu artinya, pilihan untuk kembali ke gaya yang penting tahu "caranya lolos dari badai selayaknya seorang pelaut" gaya Allegri adalah sejenis konservatisme yang sedang memulihkan kehendak untuk kembali dominan, terutama di Serie A.

Pilihan yang semestinya membuat Juventini tidak gembira mengingat Sarriball yang agresif itu harusnya membuka transisi yang konstan dari perubahan karakteristik La Vecchia Signora. Atau sekurangnya bagi saya, yang terdampar di antara kata-kata dan harap seorang fans, yang penasaran serupa Juventus andai direvolusi oleh jenius selevel Pep Guardiola atau Jurgen Klopp.

Setidaknya mendekati narasi historis timnas Italia di tangan Roberto Mancini yang berangsur-angsur bertransformasi dari cangkang lama Catenaccio. Hasilnya bukan saja juara Eropa edisi pandemi dengan lagi-lagi dan lagi menyingkirkan Inggis, Italia-nya Mancini adalah tim nasional terlama di dunia yang belum terkalahkan hingga saat ini. Italia yang menghibur dan stabil.

Tapi, sekali lagi, ini musim baru dimulai. Allegri juga baru kembali dengan fleksibilitas yang masih akan diimprovisasi. Tetap bersabar dan tetap #FinoAllaFine. Forza Juventus!

Pelaut harus terus berlayar dan lautan tidak menyediakan badai hanya sekali.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun