- A brand is a voice and a product is a souvenir - Lisa Gansky
Eiger menempati posisi dua di linimasa akun twitter saya (kamu gak mo ngajak mutualan gitu?). Kata ini sudah dikicaukan 41 ribu kali. Beritanya baca saja di sini. Intinya brand yang identik dengan perlengkapan petualangan ini membuat blunder.Â
Bikin surat komplein yang malah membuat malu diri sendiri. Tapi sudahlah, Â semoga makin besar tanpa melupakan akar-ini apa lagi sih?
Sebab ramai-ramai ini pulalah, saya berpikir menulis sedikit romansa dengan produk dari perusahaan yang didirikan tahun 1993 ini. Pendirinya adalah seorang lulusan STM. Mengingatkan pada pendiri perusahaan fast food dunia yang gak sekolah tinggi-tinggi.
Tahun 2000-an awal. Eiger memang bukan satu-satunya saat itu. Ada juga Alpina namun jumlah dan jenisnya terbatas. Saat itu juga, gerai resmi Eiger belum ada. Harganya? Jangan ditanya. Celana panjang Alpina saat itu sekitar Rp. 150.00/pcs. Kalau sekarang sudah di atas 500-an ribu. Sama juga dengan Eiger. Golongan barang mahal.Â
Kiriman bulanan saya cuma 300.000/bulan. Bayar kost 80.000/bulan. Beli buku? Bayar diktat? Ongkos angkot? Walhasil, Indomie adalah kawan di masa-masa sulit dan menjerit-jerit.Â
Karena itu sering sekali saya ke toko yang menjual Alpina dan Eiger yang terletak di sekitaran Pasar 45. Hanya untuk melihat, pegang-pegang sebentar, terkagum-kagum lalu pulang sembari menimbun angan-angan. Besok ada duit, kupinang kau dengan semangat!
Lantas, bagaimana caranya? Tak ada sejarahnya cinta tertolak, tidur menjadi mudah. Bahwa cinta ditolak, dukun bertindak itu perkara pilihan, wekawekaweka. Yang jelas, semesta Nyiur Melambai tidak sudi melihat saya terpuruk dalam keinginan yang tak bisa dipenuhi.
Menjelang Natal dan perpisahan tahun. Mungkin sekitar tahun 2005 atau 2006. Pesisir Boulevard dan ruas jalan Samrat sering ramai dengan para penjaja terompet, kembang api dan anekaragam petasan. Ekonomi jelata yang memburu remah-remah kegembiraan. Memanfaatkan momen pisah tahun warga kota walau tak selalu pisah kesia-siaan.
Saya diajak terlibat dalam geliat itu. Sejak November, sudah berkutat membuat terompet. Mungkin jumlahnya seratusan. Kurang lebih seminggu sebelum malam 31, para penjaja ini mulai memadati jalan Samrat, salah satu urat nadi yang menyambungkan pusat ekonomi kota, selain pemukiman. Pagi sampai sore, saya turut serta menjaga lapak. Seperti pedagang koran di pinggir jalan yang mulai hilang dari tatapan.Â
Sebab esok hari masih tanggal merah dan biasanya toko itu tutup, saya menunggu sampai tanggal 4 Januari. Tersiksa! Akhirnya saatnya tiba juga, saya sudah lupa, tapi harus mengeluarkan 80.000 untuk tas panggul kecil berwarna hitam dengan selingan hijau.Â
Jumlah kantungnya pun hanya dua. Tapi rasanya keren sekali dan yang paling penting adalah hasil dari sebulan menjadi penjaja terompet. Eh iya, saya bahkan sampai masuk televisi. Diwawancarai dan tayang berita. Diulang-ulang pula. Â
"Aji masuk tipi, jadi pedagang terompet!" judul yang heboh di kawan-kawan seangkatan plus sekemiskinan. Ada yang kagum, ada yang tak menyangka. Makanya pacaran sama yang pintar membaca peluang dagang, dong.Â
Ups. Pendek romansa, saya akhirnya bisa beli tas Eiger yang harganya tidak tergolong murah hingga saat ini.Tapi tas ini tidak lama menemani saya. Sempat beberapa kali mengikuti ke ruang kuliah dan sedikit demonstrasi, hihihi.Â
Adik perempuan yang menyusul kuliah lebih suka memakainya karena bentuk yang kecil dan praktis. Adik saya ini bagian dari kehidupan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA). Karena itu, sudah gak perlu ditanya berapa kali tas kecil ini berjibaku naik turun gunung dan menyusuri sungai-sungai. Tapi kebanyakan memang buat kuliah sih. Â Yakali, masa tiap hari naik gunung?
Gara-gara Eiger bikin blunder, saya terus nanya. "Kamu masih ingat tas Eiger kecil itu? Apa kabarnya?"
Dia masih mengenang dengan terang. Mereka memang lebih lama membangun kenangan. Bahkan, di tahun 2010, ketika sedang studi magister, masih menemaninya di Semarang. Wow. Hebat!
"Dimana dia sekarang?" Â Â Â Â
Tas Eiger hasil terompet ternyata menempuh masa pensiunan di Yogya. Kemungkinan tersembunyi di antara barang-barang milik mama. Sesudah 15 tahun, semoga dia masih baik-baik saja. Walau sudah memudar dan terlihat menua dimakan zaman.Â
15 tahun bukan waktu yang pendek. Tiga kali pergantian rezim, lho! Berapa biaya yang habis buat ngongkosin pemilu, coba? Belum lagi biaya bikin baliho, cetak dan pasang bendera, sewa artis dan kampanye yang buang-buang waktu itu. Mahal segalau-galaunya.Â
Tas kecil itu bukan barang murah di zamannya. Cara memerolehnya menyaratkan kepantasan-kepantasan tertentu. Eh tapi, sejak kapan produk Eiger murah ya? Hihihi. Peace, bro. Jangan somasi saya ya.Â
Sampai sekarang saya juga masih menggunakan merek ini. Saya sudah punya 3 atau 4 celana panjang lapangan yang umurnya sudah 3 tahun dan masih baik-baik saja. Tak ada yang sobekan, kecuali mulai agak pudar dan terlihat lebih tabah. Sebab sesekali harus dibawa masuk ke rawa gambut.Â
Tentu saja belinya tidak sekaligus. Masih harus menyisihkan sedikit uang. Kebanyakan karena ketiban THR, wkwkwk. Saya masih jelata akar serabut walau tak lagi berdagang terompet.
Rame-rame Eiger itu mengingatkan saya jika ada barang-barang tertentu yang mula-mula bersifat tersier namun bisa melampaui fungsi asalnya.Â
Sebuah celana jenis taktikal, misalnya, tidak semata celana dalam arti fisik. Jika ia terlibat dalam perjalanan yang melelahkan lahir batin di rawa gambut, dia memiliki status yang khusus bagi pemakainya. Apalagi dipakai dalam pertempuran jalanan dengan teroris seperti di kawasan Sarinah, Jakarta, tempo hari. Viral-lah dia!Â
Sebab terlibat dalam rangkaian pengalaman tertentu yang menjelaskan usaha anak manusia memenuhi capaian-capaian dirinya. Saya tidak bilang bahwa barang mahal memiliki fungsi yang lebih baik dari pada yang sejenis namun lebih murah. Bukan di sana perkaranya karena antara barang mahal, gaya hidup dan status sosial seringkali tipis.
Walau begitu, saya tak bilang Eiger sekadar gaya-gayaan. Saya masih merasakan produknya yang tahan bertahun-tahun karena itu juga mengurangi boros membeli barang sejenis. Saya sudah mengalami salah satu produknya menjadi warisan hingga lebih dari satu dekade.Â
Makanya, Eiger jangan tumbuh dengan telinga yang tipis. Boleh bersikap lebih selow menyambut kritik. Tua itu pasti, dewasa adalah cobaan, kawan.***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H