Sebab esok hari masih tanggal merah dan biasanya toko itu tutup, saya menunggu sampai tanggal 4 Januari. Tersiksa! Akhirnya saatnya tiba juga, saya sudah lupa, tapi harus mengeluarkan 80.000 untuk tas panggul kecil berwarna hitam dengan selingan hijau.Â
Jumlah kantungnya pun hanya dua. Tapi rasanya keren sekali dan yang paling penting adalah hasil dari sebulan menjadi penjaja terompet. Eh iya, saya bahkan sampai masuk televisi. Diwawancarai dan tayang berita. Diulang-ulang pula. Â
"Aji masuk tipi, jadi pedagang terompet!" judul yang heboh di kawan-kawan seangkatan plus sekemiskinan. Ada yang kagum, ada yang tak menyangka. Makanya pacaran sama yang pintar membaca peluang dagang, dong.Â
Ups. Pendek romansa, saya akhirnya bisa beli tas Eiger yang harganya tidak tergolong murah hingga saat ini.Tapi tas ini tidak lama menemani saya. Sempat beberapa kali mengikuti ke ruang kuliah dan sedikit demonstrasi, hihihi.Â
Adik perempuan yang menyusul kuliah lebih suka memakainya karena bentuk yang kecil dan praktis. Adik saya ini bagian dari kehidupan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA). Karena itu, sudah gak perlu ditanya berapa kali tas kecil ini berjibaku naik turun gunung dan menyusuri sungai-sungai. Tapi kebanyakan memang buat kuliah sih. Â Yakali, masa tiap hari naik gunung?
Gara-gara Eiger bikin blunder, saya terus nanya. "Kamu masih ingat tas Eiger kecil itu? Apa kabarnya?"
Dia masih mengenang dengan terang. Mereka memang lebih lama membangun kenangan. Bahkan, di tahun 2010, ketika sedang studi magister, masih menemaninya di Semarang. Wow. Hebat!
"Dimana dia sekarang?" Â Â Â Â
Tas Eiger hasil terompet ternyata menempuh masa pensiunan di Yogya. Kemungkinan tersembunyi di antara barang-barang milik mama. Sesudah 15 tahun, semoga dia masih baik-baik saja. Walau sudah memudar dan terlihat menua dimakan zaman.Â
15 tahun bukan waktu yang pendek. Tiga kali pergantian rezim, lho! Berapa biaya yang habis buat ngongkosin pemilu, coba? Belum lagi biaya bikin baliho, cetak dan pasang bendera, sewa artis dan kampanye yang buang-buang waktu itu. Mahal segalau-galaunya.Â