Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hari Ketika Juventus Tidak Ingin Menjadi Apa-apa Selain Gagasannya Sendiri

21 Januari 2021   08:03 Diperbarui: 22 Januari 2021   09:32 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selebrasi gol pamungkas Alvaro Morata yang menyempurnakan tangis Insigne. Juventus positif juara Super Cup edisi Pandemi | Juventus.com

 

- It was important to win after the defeat against Inter, we had to show pride and when you go on the pitch with this determination, things can go well - Coach Andrea Pirlo di Juventus.com 

Malam hari di Mapei Stadium. Ada rasa sakit yang sedang mencari balasnya. Pada sebuah tim di bawah komando sang pemula. 

Rasa sakit itu datang karena seorang mantan yang pernah berada di barisan depan dari kerja keras memulihkan dominasi, bukan sekadar konsistensi. Mantan itu adalah Antonio Conte dengan tiga musim meraih scudetto sesudah The Old Lady hanya menjadi medioker paska-kembali dari Serie B.

Di Mapei, saya hanya bisa menyaksikan rasa sakit itu mencari pembalasan sesudah gol Ronaldo-gol yang menegaskan dirinya pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah sepak bola. Gol yang aneh sebab barisan belakang yang dikomandoi Kalidou Koulibaly bisa mengalami kecolongan yang seperti itu. Bola memantul dan bertemu Ronaldo yang bebas merdeka. 

Sesudah gol itu, saya kira semua Juventini dihinggap rasa was-was. Bisakah Juventus tetap solid menahan serangan Napoli yang gemar dengan operan pendek cepat dan zig-zag; gaya yang indah sesungguhnya? Apakah akan keteteran seperti sebelumnya?

Di Mapei, kita melihat Juventus yang tidak lagi ini meninggalkan ruang terbuka. Tak ingin lagi memberikan kemungkinan terlalu sering bagi lawan. 

Juventus memilih disiplin bermain rapat dan masih saja mudah kehilangan bola. Situasi tetap begini dengan Napoli yang berusaha mencari cara untuk membalas. Hingga akhirnya McKennie membuat kesalahan di dalam kotak 16. Berniat menghalau bola, anak muda dari negeri yang presidennya baru dilantik sesudah huru-hara kelompok sayap kanan justru menghajar kakinya Martins. VAR memutuskan penalti! Waktu sudah bergerak di atas angka 70 menit. 

Haduh, batin saya yang hanya bisa melihat tayangan ini dari handphone. Insigne pula yang maju. Wojciech Szczesny membuang badan ke kiri, sepakan Insigne terlalu lebar ke kanan. Gagal total. Yes! Tidakkah ini pertanda Napoli hanya akan jadi pencundang, kah? 

Saya sejatinya tidak yakin dengan pertanyaan mengenai pertanda, isyarat atau firasat dalam sepak bola. Pertanyaan yang sebaiknya diserahkan kepada jenis media yang memburu klik tanpa menajamkan empati pada tragedi. 

Napoli baru saja memangsa Fiorentina 6 gol tanpa balas di giornata ke-18. Iya, Fiorentina-nya Prandelli yang bikin taktik Pirlo mati gaya dan mengenaskan. Jenis kekalahan yang patut dihargai dengan Terima Kasih, Prandelli! Di partai itu, Insigne, dkk bermain asik dan penuh kepercayaan diri. Demikian juga sesudah ketinggalan subuh tadi.

Napoli bermain dengan serangannya yang khas. Bola pendek cepat yang mencari ruang bagi kemungkinan. Sedang Juventus tetap konsisten bergaya rapat dan yang tak kalah penting, tak terlihat panik. Arthur-McKennie-Bentancur terlihat disiplin menjaga ruang di tengah, ruang yang seringkali krusial di saat transisi. Kombinasi 4 back senior: Cuadrado (yang baru saja negatif Covid-19, salut!) duet Chiellini-Bonucci serta Danilo tampil dengan pengalaman masing-masing. Belum lagi peran sang kiper asal Polandia yang namanya susah dieja itu.

Pendek kata, sebagaimana dikatakan kapten Chiellini, mereka tahu caranya menghadang Napoli. Di Football Italia, pria yang sudah lima kali mengangkat tropi Supercup ini berkata, "I think we played with great unity as a team, both defending and attacking, which isn't easy against a side like Napoli who are very dangerous on the counter and in their quick passing. The midfield did really well to ensure hardly anything reached us in defence." 

Juventus telah tampil dengan persatuan yang hebat sebagai tim, baik saat menyerang atau bertahan. Sesuatu  yang tak mudah manakala melawan Napoli yang sangat berbahaya dengan serangan balik dan passing cepat. Lini tengah melakukannya dengan sangat baik untuk memastikan hampir tidak ada yang mencapai kami di pertahanan. 

Ini Juventus yang kembali dari rasa sakit di San Siro, kemarin. Kekalahan 2 gol tanpa balas yang dinilai Del Piero boleh terjadi karena Juventus tertidur di sepanjang laga. Tapi Nyonya Tua adalah Nyonya Tua, mereka selalu akan kembali. Bukan cuma para veteran!--kata-kata ini dari saya. 

Pertanyaannya, seperti apakah dorongan dari rasa sakit itu bekerja kala berseragam putih-hitam? Bagimanakah ia bergumul pada diri seorang pemain?

Mari kita bertanya pada sang legenda. Dalam kitab "Giochiamo Ancora/Playing On (KPG: 2018)", Del Piero bilang begini:

Sesekali, orang-orang bakal bertanya apa arti Juventus bagi saya. Saya pikir Juventus lebih dari tim sepak bola, Juventus adalah gagasan. Semangat tim berarti mengenali diri kita seperti warna seragam tim kita, dan apa yang terjadi pada diri saya sering tidak terjadi di sepak bola modern. Saya menjadi "maskot" , dan peran ini berasal rasa memiliki klub yang saya dan rekan-rekan satu tim punyai ketika menerima kepindahan kami ke Serie B. Ini perkara gengsi, berasal dari kewajiban membantu hewan yang terluka. 

Kita akan selalu ingat, saat disanksi harus berlaga di Serie B, King Alex memilih tetap bertahan. Tidak serupa Zlatan (yang kini lebih Milan dari sebelumnya) atau Cannavaro atau Thuram. Padahal sepak bola modern mudah memosisikan pemain tidak lebih dari petarung kompetisi, pemburu gelar dan komoditi penghasil laba. Cinta dan loyalitas pada klub mudah terdengar percakapan yang mengada-ada belaka, kalau bukan modus. 

Namun bagi Del Piero, "Un vero cavaliere non lascia mai una signora!"*)

Ketika kami mengatakan bahwa Juve adalah tim Italia yang paling dicintai sekaligus dibenci, kami menyampaikan kebenaran yang hakiki. Kesuksesan selama lebih dari 100 tahun di bangun di atas kebenaran ini, karena mengetahui kami dicintai sekaligus dibenci memberikan tenaga yang hebat. Inilah yang disebut dengan "beban mengenakan seragam klub": kita mengerahkan usaha melebihi kemampuan. Kita bermain lebih baik karena kita bersama Juventus (hal 114-115). 

Juventus adalah semangat hidup yang dibentuk oleh relasi paling dicintai sekaligus paling dibenci. Rada absurd, sih. Namun kita boleh membayangkan jika dalam ketegangan seperti itu, para pemainnya selalu dituntut untuk tampil sempurna. Tampil dengan kualitas adimanusiawi, barangkali. Kualitas yang menuntut kemenangan terus menerus.

Dituntut untuk selalu sempurna dan menang tidak berarti akan sempurna dan menang, Mblo-saya tahu pikiranmu sedang terbahak-bahak membayangkan status medioker La Vecchia Signora di level liga Champions. Lagipula, dalam sejarah fana manusia, yang kelak dikenang adalah usaha untuk terus menerus memberikan yang terbaik sekalipun kamu tidak selamanya ada di sana. 

Jadi, di hari ketika Juventus hanya ingin menjadi gagasannya sendiri, Gattuso harus angkat topi kepada partnernya yang memimpin dengan dingin. Selamat untuk trofi pertamanya, coach Pirlo. Fino Alla Fine, Forza Juventus!***

*) = Seorang pria sejati tidak pernah meninggalkan kekasihnya. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun