Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Andai Memilih Kampus Semudah Memastikan Nasib

11 Januari 2021   14:47 Diperbarui: 11 Januari 2021   14:53 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

- There's no such thing as neutral education. Education either functions as an instrument to bring about conformity or freedom- Paulo Freire

Saya hanya ingin seperti Maradona sepanjang hayat, bikin gol dan bergembira. Hingga tiba suatu masa, Maradona sirna sebagai cita-cita dari kepala. 

Masa itu adalah masa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jayapura dan saya terpaksa mesti menjalani fase sebagai orang yang serius. Ketika masa depan tampak seperti sesuatu yang harus dimenangkan, kalau bukan dengan penaklukan.  

Sekolah SMA saya terletak di jalan Biak, hanya beberapa ratus meter dari lingkaran Abe yang menjadi pertemuan dari hilir mudik manusia sekolah juga kendaraan antar terminal dalam kota. Saya harus lulus dari jurusan IPS dengan stigma kumpulan anak-anak dengan pikiran yang tidak cocok untuk mengerjakan rumus ilmu pasti. 

Jadi ketika masa kelulusan tiba, saya menunggu masa Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sambil menghidupi jatuh cinta pada adik kelas yang lembar foto 3x4 dari kartu ospek serta suara di telpon berkabel menemani kerinduan saya di bulan-bulan pertama jauh dari rumah. 

Anak-anak IPS tidak punya masa depan. Paling kurang, mereka hanya akan menempati kasta kelas tiga. Kata-kata itu jarang disebut dengan keras tetapi setiap generasi yang dipisahkan oleh pembagian jurusan IPA, Bahasa dan IPS sudah maklum-kecuali gak mau ngaku. Nasib mereka jauh dari daftar karir yang mentereng. Banyak uang, istri cantik dan patuh, anak-anak yang sejahtera, rumah megah dan liburan yang bikin iri. 

Tapi, ini bukan karena khotbah tak ada masa depan bagi anak produk kelas IPS-lah yang menjadi alasan mengapa jatuh cinta kalau hanya untuk ditinggal jauh karena kuliah. Sebaliknya, justru karena masa depan adalah semesta ketidakpastian yang didefinisikan oleh pertarungan ideologi tertentu perihal karir, kelimpahan material dan kehormatan itulah--Anda bisa curiga jika Ivan Illich sedang bicara di kepala saya sekarang ini-- maka saya menekadkan diri pergi menemui dua orang guru senior. 

Mereka adalah pengajar sosiologi yang tiada capek-capeknya mengajarkan imajinasi sosial dalam memahami bagaimana masyarakat bisa tersusun dan mengapa kecantikan itu adalah konstruksi sosial (belaka). Terhadap kepala polos dan lugu saya, mereka berdua hanya menjawab, "Kamu bisa menjadi siapa saja sejauh bisa memahami masyarakat." 

Mereka tidak menyebut nama-nama angker semisal Marx, Durkheim, Weber atau Bourdieu, Berger dan Giddens. Termasuk tidak mengatakan kamu akan menjadi orang kaya, dihormati, berpengaruh, bersenjata, berpangkat, bla-bla...lalu korupsi!

Tapi saat itu, sosiolog(i) hanyalah isu pinggiran di bayangan masa depan. Di tahun ketika Soeharto tumbang, muncul wajah rupawan dan rapi bertutur kata di televisi. Ada sosok Andi Mallarangeng, yang kabarnya baru pulang studi doktoral dari Amerika. Lalu Yusril Ihza Mahendra, yang menulis pidato pengunduran diri Mbah Smiling General. 

Yang pertama, dijuduli pakar sosiologi politik. Yang satu lagi, ahli hukum tata negara. Sebenarnya ada juga Daniel Sparingga, seorang sosiolog dari kampus Airlangga, yang bicaranya refleksif dan tertata apik (padahal saya sering tidak mengerti mereka berkata apa saat itu). 

Kalau ditanya, bagaimana kamu memilih kampus seperti apa? Alasannya berpangkal pada stigamatisasi produk jurusan IPS yang malang itu. Sehingga ketika menemukan wajah-wajah sukses sosiologi di televisi di tengah krisis politik yang berujung delegitimasi sang tiran, saya melihat masa depan masih mungkin dimenangkan.

Dengan kata lain, masih ada situasi dimana tukang insinyur atau dokter tidak banyak ditanya tentang si jendral bisa tumbang sesudah tiga dasawarsa berkuasa.   

Lantas, bagaimana sampai sosiologi bisa menjadi pilihan bahkan kini menjadi energi yang menghidupkan rangkaian perjalanan dari Timur ke Barat Nusantara?

Ternyata urusannya tidak serta merta dan seketika. Sebagai manusia dari kelas IPS yang terbiasa dengan ketidakpastian dan relativitas, saya masih saja tidak menjadikan ilmu yang geliat diskursifnya menyertai kelahiran masyarakat modern di Barat ini sebagai satu-satunya dan cuma ini. 

Sehingga pada saat memilih kampus tujuan di saat UMPTN, saya menetapkan hati di Universitas Hasanuddin untuk jurusan hukum. Yang kedua, saya memilih berdasarkan kemungkinan besar diterima. Cari yang sepi peminat dan jurusannya "terbaca aneh" di pikiran-pesan kakak sepupu yang diterima di fakultas Teknik Perkapalan, Universita Pattimura, Ambon.

Mata saya tiba di jurusan Sosiologi, Fisipol Universitas Sam Ratulangi, Manado. 100-an peminat saja. Ini dia, aha! Saya centang dengan bersemangat. Sambil membatin, kalaupun gagal berangkat ke Makassar, saya pergi ke Manado. Tak jadi ahli hukum, tak masalah. Sosiologi (saya bahkan belum yakin saat ujian ini akan menjalani nasib seperti apa) juga tak mengapa. 

Setidaknya mereka masih di satu pulau dan berada di tengah-tengah, di antara Papua dan Jawa. Paling minimal, kalau musim liburan, saya bisa pulang tanpa berhari-hari di tengah laut. Dari Bitung, Ternate, lalu Sorong. Sebentar saja sudah di Papua lagi, bukan? Tapi sesungguhnya penjelasan ini tetap saja masih menyembunyikan keraguan. 

Kamu kuliah di situ terus mau menjadi apa? Mau menjadi siapa? 

"Menjadi" saat itu sungguh-sungguh jatuh maknanya di kepala saya yang udik dan pinggiran ini. Menjadi hanya muncul sebagai kerja berbayar, karir yang sukses dan hidup mapan tamvan. Paling kurang, alasan kamu ke sana itu karena kamu lulus UMPTN, sudah itu saja! Ini sudah membanggakan.

Jadi, pembaca yang mungkin sedang bersiap memilihkan sekolah untuk anak-anak atau sedang bingung mau kuliah dimana, saya adalah alasan yang tidak memiliki ketetapan sejak awal. Alasan memilih jurusan dan kampus karena ingin menyelamatkan eksistensi dari kesia-siaan; menyalamatkan nasib dari stigmatisasi.

Pada mulanya alasan memilih kampus terbaca sebagai peristiwa konyol, ternyata di dalam yang konyol (jangan sampai salah tulis! #masJePeModeOn) terkandung...

Begitulah akhirnya saya tiba di Manado. Kota kecil di tepian laut Pasifik yang melahirkan nama besar seperti Sam Ratulangi, futurolog dari masa perang. Nama yang rumah pengungsiannya di Serui, Papua seringkali saya lewati di masa kecil. Namanya menjadi kampus yang menjuangkan falsafah "Sitou Timou Tumou Tou". Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain.

Di kampus itu, kepentingan akademik saya diasuh seorang pendeta Protestan sekaligus sosiolog. Seorang yang sangat energik dalam ruang perkuliahan dan tak pernah bosan mengingatkan jika seorang sosiolog tidak bisa melihat masalah-masalah sosial sebagai diri yang berjarak dan dingin. Seolah saja masyarakat adalah sebongkah daging mati di ruang eksperimen medis--cieh, nyerang anak-anak IPA nih ceritanya?!

Seorang guru, pembimbing, dan orang tua yang sedikit penghormatan kepadanya telah saya abadikan di Kepada Guruku yang Pendeta dan Sosiolog Itu. Yang meyakinkan saya jalan sosiologi boleh membawamu kemana suka tanpa kehilangan akar dan sikap berpihak. Menjadi manusia pinggiran yang percaya diri. Guru semasa kuliah ini adalah adik tingkat Om Guru Felix Tani di Salatiga. 

Keasyikan mempelajari sosiologi telah membuat saya tabah bertahan jauh dari rumah. Termasuk tabah diputus seketika adik kelas sesudah 3 bulan mengalami masa mahasiswa baru. Oh ya, adik kelas ini jurusannya IPA--apakah ini tampak sebagai kebetulan atau kutukan di matamu?!

Ini Manado, Bung. Sebab memutuskan kuliah tidak semudah memastikan nasib, tetap berjuang! Dan, semoga Om Guru Felix Tani memaafkan saya dalam kesaksian ini. *** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun