Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Andai Memilih Kampus Semudah Memastikan Nasib

11 Januari 2021   14:47 Diperbarui: 11 Januari 2021   14:53 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang pertama, dijuduli pakar sosiologi politik. Yang satu lagi, ahli hukum tata negara. Sebenarnya ada juga Daniel Sparingga, seorang sosiolog dari kampus Airlangga, yang bicaranya refleksif dan tertata apik (padahal saya sering tidak mengerti mereka berkata apa saat itu). 

Kalau ditanya, bagaimana kamu memilih kampus seperti apa? Alasannya berpangkal pada stigamatisasi produk jurusan IPS yang malang itu. Sehingga ketika menemukan wajah-wajah sukses sosiologi di televisi di tengah krisis politik yang berujung delegitimasi sang tiran, saya melihat masa depan masih mungkin dimenangkan.

Dengan kata lain, masih ada situasi dimana tukang insinyur atau dokter tidak banyak ditanya tentang si jendral bisa tumbang sesudah tiga dasawarsa berkuasa.   

Lantas, bagaimana sampai sosiologi bisa menjadi pilihan bahkan kini menjadi energi yang menghidupkan rangkaian perjalanan dari Timur ke Barat Nusantara?

Ternyata urusannya tidak serta merta dan seketika. Sebagai manusia dari kelas IPS yang terbiasa dengan ketidakpastian dan relativitas, saya masih saja tidak menjadikan ilmu yang geliat diskursifnya menyertai kelahiran masyarakat modern di Barat ini sebagai satu-satunya dan cuma ini. 

Sehingga pada saat memilih kampus tujuan di saat UMPTN, saya menetapkan hati di Universitas Hasanuddin untuk jurusan hukum. Yang kedua, saya memilih berdasarkan kemungkinan besar diterima. Cari yang sepi peminat dan jurusannya "terbaca aneh" di pikiran-pesan kakak sepupu yang diterima di fakultas Teknik Perkapalan, Universita Pattimura, Ambon.

Mata saya tiba di jurusan Sosiologi, Fisipol Universitas Sam Ratulangi, Manado. 100-an peminat saja. Ini dia, aha! Saya centang dengan bersemangat. Sambil membatin, kalaupun gagal berangkat ke Makassar, saya pergi ke Manado. Tak jadi ahli hukum, tak masalah. Sosiologi (saya bahkan belum yakin saat ujian ini akan menjalani nasib seperti apa) juga tak mengapa. 

Setidaknya mereka masih di satu pulau dan berada di tengah-tengah, di antara Papua dan Jawa. Paling minimal, kalau musim liburan, saya bisa pulang tanpa berhari-hari di tengah laut. Dari Bitung, Ternate, lalu Sorong. Sebentar saja sudah di Papua lagi, bukan? Tapi sesungguhnya penjelasan ini tetap saja masih menyembunyikan keraguan. 

Kamu kuliah di situ terus mau menjadi apa? Mau menjadi siapa? 

"Menjadi" saat itu sungguh-sungguh jatuh maknanya di kepala saya yang udik dan pinggiran ini. Menjadi hanya muncul sebagai kerja berbayar, karir yang sukses dan hidup mapan tamvan. Paling kurang, alasan kamu ke sana itu karena kamu lulus UMPTN, sudah itu saja! Ini sudah membanggakan.

Jadi, pembaca yang mungkin sedang bersiap memilihkan sekolah untuk anak-anak atau sedang bingung mau kuliah dimana, saya adalah alasan yang tidak memiliki ketetapan sejak awal. Alasan memilih jurusan dan kampus karena ingin menyelamatkan eksistensi dari kesia-siaan; menyalamatkan nasib dari stigmatisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun