Dari peristiwa senjakala, selalu ada peringatan agar menyiapkan jalan kembali. Â Dalam jalan kembali, kita selalu memiliki cara untuk pergi lagi. Semacam siklus yang memiliki dua potensi: menjadi sumber bagi gerak mekanik atau sebagai "latihan melampaui".
Bagaimanakah peristiwa senja mewakili sedikit pengalaman jumpa keseharian di Mendawai atau desa-desa tepian sungai Katingan?
Di Mendawai atau seluruh desa yang saya datangi, senja yang ditunggu-tunggu itu selalu saja hadir sebagai peristiwa yang "melankoli".
Selalu membawa ingatan saya pada narasi orang-orang kecil yang berusaha membawa seluruh masa lalunya ke dalam harapan-harapan yang lebih cerah.
Geliat orang kecil yang pernah saya tulis di "Libur Sederhana Saya: Mengunjungi Angan yang jadi Kenyataan". Atau orang-orang yang pernah saya ceritakan di "Menjadi Turis dalam Sehari" dan "Desa Tumbang Bulan; Kisah Ketertinggalan Paska-Perburuan Kayu", sekadar menyebut tiga dari beberapa.Â
Geliat yang berkembang dalam narasi yang berdiri dari kenangan-kenangan pada keberlimpahan dari merosotnya daya dukung hutan juga sungai. Kini harus disingkirkan dari jalan panjang menuju hari-hari yang berbeda. Termasuk endapan kesedihan karena negara yang berjarak atau rasa sakit ketimpangan-ketimpangan karena negara yang mudah lupa. Tidak di Galinggang, Tumbang Bulan atau di Mendawai.
Melankoli itu bukan riwayat tak ada ujung dari kutukan. Ia lebih tampak sebagai konsekuensi yang niscaya. Transisi yang mesti dilalui karena pilihan-pilihan di masa lalu. Seperti senjakala yang mesti dihadapi dari setiap pergulatan hari.
Dari senja di Mendawai yang kesekian kali, saya menyelami lagi masa lalu yang sebelumnya jauh dan diri saya sendiri. Â Semacam ziarah sejarah-budaya sekaligus ziarah kedalam diri sendiri. Proses yang seringkali berupa meditasi di dalam romantika yang sepi.
Mungkin seperti Pacar Senja-nya Joko Pinurbo. Dalam dua baris pembuka:Â
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli. Â
Tabik***