Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Melankoli Senja di Mendawai

28 Desember 2020   09:52 Diperbarui: 12 Februari 2021   23:31 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal, Jamban dan Sungai di Mendawai | dokumentasi pribadi

Siapa yang mencari cinta sampai ke sini?

Saya sudah berkali-kali menunggu senja di sini. Di tepi Mendawai, sebuah desa kecil yang menjadi pusat administrasi kecamatan Mendawai, Katingan, Kalimantan Tengah. 

Sebagai ibukota kecamatan, Mendawai hanya punya 5 rukun tetangga dan satu dermaga kecil yang memberangkatkan orang-orang ke Sampit atau ke Kereng Pakahi, pelabuhan transit menuju Kasongan yang terletak di hulu sungai. Ada dua pasar desa, warung makan dan penginapan kecil yang saling berdekatan. 

Karena itu lingkungan di sekitar dermaga boleh disebut sebagai sumbu perputaran ekonomi. Putaran ekonomi yang ditopang juga oleh hasil bumi yang dikirim dari desa-desa transmigran di sekitarnya.

Jika Desember sedang normal, dari desa-desa tetangga ini datang rombongan cempedak yang merawat kerinduan pada rasa manis dan harumnya. Sayang, kali ini musim sedang ganjil. Tak ada rambutan juga durian. Senasib secempedak.

Sesekali saya menunggu senja dengan membayangkan bait pembuka dari "Senja di Pelabuhan Kecil" milik Chairil Anwar: 

Buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
 

Saya mengenangkan cerita-cerita dari masa lalu dari memori bersama warga. Cerita yang diulang kenangannya oleh warga desa. Juga jejak cerita yang sudah menjadi bagian dari sejarah saya. Sekurangnya dalam 4 tahun terakhir. 

Perjalanan panjang selalu berusaha menyadari alasan pertama kali tiba di suatu tempat. Saya jadi mengenang, kedatangan pertama kali disebabkan menjadi bagian dari rencana yang tidak muluk-muluk. 

Rencana sederhana dari keinginan membagikan beberapa buah lampu bertenaga surya. Lampu dengan panel sederhana yang bisa ditenteng kemana-mana. Entah untuk belajar anak sekolah atau sebagai penerangan ketika mengumpulkan hasil hutan. Tapi bukan buat Mendawai yang sudah punya listrik bertenaga disel walau masih kekurangan daya.

Lampu solar sel itu untuk warga di desa Galinggang. Galinggang terletak agak ke hulu dengan waktu tempuh sekitar 3-4 jam menyusur sungai Katingan yang sepi. Orang Galinggang telah melewati hidup bertahun-tahun tanpa penerangan listrik negara. Kedatangan pertama ini untuk tiga bulan saja. 

Setahun kemudian, saya datang lagi ke Galinggang dengan masa tinggal yang lebih lama. Mendawai saat itu masih sebagai lokasi transit di akhir bulan. Setahun sesudahnya, saya baru mengalami Mendawai sebagai ruang hidup sehari-hari. Lebih lama dibandingkan Galinggang, desa pertama yang menampung segala pertanyaan dan kegelisahan di heningnya DAS Katingan. 

Desa yang pertama kali bercerita tentang keberlimpahan uang dari perburuan kayu, perburuan kesenangan dan kemewahan, hingga mengapa mengenang itu semua kini seperti menyusuri jalan buntu. Atau seperti mengalami masa depan yang "dikutuk". 

Rumah Panggung dan Perahu | dokumentasi pribadi
Rumah Panggung dan Perahu | dokumentasi pribadi
Kemarin sore, matahari terbenam dengan semburan cahaya kuning yang memenuhi cakrawala. Bukan senja yang terbaik, memang. Beberapa senja bahkan terlihat seperti lukisan alam yang malas atau berulang. Seolah sedang kelelahan atau merasa jenuh dengan hidup yang begitu-begitu saja. 

Namun senja yang menghamburkan cahaya keemasan seperti ini selalu hadir laksana pelukan. Serupa upacara pemberian rasa hangat sebelum tiba pada kegelapan malam. Saya mesti menunggu senja seperti ini tiba dan terpana. Walau senja terbaik yang pernah saya jumpai hanya milik Suatu Hari di Tampelas.

Sedang kilau keemasan rumah panggung yang berderet dan perahu-perahu yang diam adalah pertanda hari yang beristirahat. Sebentar lagi lampu-lampu dinyalakan, pintu-pintu dan jendela rumah ditutup. Adzan magrib segera berkumandang dan orang-orang tertib berdiam di dalam rumah. Sekejap saja keheningan memeluk jalan-jalan utama di Mendawai. 

Senja yang kuning keemasan juga memberi saya pertanda yang lain. Sebelum kegelapan benar-benar total, di ujung cahaya kekuningan itu, sebuah transisi waktu akan menghadirkan suasana yang lebih syahdu. Transisi itu akan menciptakan momen yang mengendapkan segala kesaksian kedalam takjub. Berkali-kali rasa takjub. 

Momen itu adalah perjalanan puncak senjakala. Momen ketika pergeseran waktu ditandai dengan perubahan warna merah dan hitam yang mengikuti layaknya jelaga. Tiba pada keheningannya sendiri. Semacam "transfigurasi".

Sebuah peristiwa alam yang menandai bahwa pergulatan harian manusia selalu memiliki ruang untuk jeda. Ruang kepada istirah. Ruang bagi kembali kedalam rumah, kedalam sunyi. 

Peristiwa yang juga memberi moratorium bagi kelelahan dan rasa capek. Terutama bagi mereka yang pergi mengumpulkan ikan atau mengolah kebun dengan hasil yang tak seberapa. 

Dari peristiwa senjakala, selalu ada peringatan agar menyiapkan jalan kembali.  Dalam jalan kembali, kita selalu memiliki cara untuk pergi lagi. Semacam siklus yang memiliki dua potensi: menjadi sumber bagi gerak mekanik atau sebagai "latihan melampaui".

Bagaimanakah peristiwa senja mewakili sedikit pengalaman jumpa keseharian di Mendawai atau desa-desa tepian sungai Katingan?

Senjakala di Mendawai |dokumentasi pribadi
Senjakala di Mendawai |dokumentasi pribadi

Di Mendawai atau seluruh desa yang saya datangi, senja yang ditunggu-tunggu itu selalu saja hadir sebagai peristiwa yang "melankoli".

Selalu membawa ingatan saya pada narasi orang-orang kecil yang berusaha membawa seluruh masa lalunya ke dalam harapan-harapan yang lebih cerah.

Geliat orang kecil yang pernah saya tulis di "Libur Sederhana Saya: Mengunjungi Angan yang jadi Kenyataan". Atau orang-orang yang pernah saya ceritakan di "Menjadi Turis dalam Sehari" dan "Desa Tumbang Bulan; Kisah Ketertinggalan Paska-Perburuan Kayu", sekadar menyebut tiga dari beberapa. 

Geliat yang berkembang dalam narasi yang berdiri dari kenangan-kenangan pada keberlimpahan dari merosotnya daya dukung hutan juga sungai. Kini harus disingkirkan dari jalan panjang menuju hari-hari yang berbeda. Termasuk endapan kesedihan karena negara yang berjarak atau rasa sakit ketimpangan-ketimpangan karena negara yang mudah lupa. Tidak di Galinggang, Tumbang Bulan atau di Mendawai.

Melankoli itu bukan riwayat tak ada ujung dari kutukan. Ia lebih tampak sebagai konsekuensi yang niscaya. Transisi yang mesti dilalui karena pilihan-pilihan di masa lalu. Seperti senjakala yang mesti dihadapi dari setiap pergulatan hari.

Dari senja di Mendawai yang kesekian kali, saya menyelami lagi masa lalu yang sebelumnya jauh dan diri saya sendiri.  Semacam ziarah sejarah-budaya sekaligus ziarah kedalam diri sendiri. Proses yang seringkali berupa meditasi di dalam romantika yang sepi.

Mungkin seperti Pacar Senja-nya Joko Pinurbo. Dalam dua baris pembuka: 

Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.
   

Tabik***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun