Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

"Teknologi Pengawasan Tubuh" dan Saya, Begini Kesannya

13 November 2020   09:26 Diperbarui: 13 November 2020   19:18 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi pengawasan tubuh yang saya gunakan hanyalah usaha kecil belaka. Ingin lebih menyadari kalau saya sedang mengawasi diri sendiri.

Hampir seminggu, saya hidup dengan teknologi pengawasan yang saya pilih sendiri.

Mungkin terdengar absurd: di mana-mana orang memperjuangkan kebebasan, kamu malah memilih teknologi pengawasan-tapi begitulah gaya hidup dan tubuh diposisikan di era Kecerdasan Artifisial.

Perkaranya, saya sedang belajar menggunakan Smartwatch yang memantau aktifitas fisik, merekam dan memberi rekomendasi. Permulaan perilaku yang tidak pernah saya lakukan hampir tiga dasawarsa mengalami pasang surut manusia pinggiran.

Jadi, ini bisa disebut sebagai fase adaptasi sekaligus pelengkap bagi kebutuhan untuk berlari yang sudah dijalani 2 tahun terakhir. Kebetulan bandrol jamnya juga relatif murah, mengapa tidak dicoba?

Walhasil, setiap pagi, saya terbangun dengan kebiasaan memeriksa statistik yang direkamnya. Ternyata, pagi suatu pagi, saya telah kekurangan tidur. Dari 5 jam tidur, tidur lelap hanya bisa dua jam, sisanya tidur ringan. Sisanya lagi menatap kipas angin Maspion dan bicara, siapa yang lebih dulu diciptakan, kamu atau sumuk?

Rata-rata tidur saya diberi nilai di bawah 80, tapi masih lebih baik dari beberapa pengguna. Seperti diberi semangat sesudah diberi peringatan. Ayo, jangan menyerah!

Pun dengan jumlah langkah yang saya hasilkan per hari itu. Belum memenuhi target dari rataan langkah yang sudah saya ciptakan sebelumnya. Misalnya 7000-an langkah lengkap dengan seberapa banyak yang dihasilkan karena berlari, jalan cepat dan jalan ringan. Termasuk masing-masing kilometernya.

Ada juga rekaman detak jantung, tapi saya belum teliti memeriksanya. Faktor utamanya karena tidak mengerti, sih. Yang jelas, saya kini hidup dengan teknologi pengawasan tubuh yang dengan sukarela penuh suka cita dipilih sendiri.

Walau begitu, saya ingin bilang begini. Sejak terbit angka-angka ini, tubuh saya ternyata tidak sepenuhnya milik saya. Kini, dia lebih memiliki saluran untuk menyuarakan hak-haknya.

Teknologi pengawasan memproduksi catatan-catatan yang membuat saya harus lebih sensitif karena pada momen menuju tidur, mengalami ngantuk dan menikmati lelap butuh beberapa prasyarat. Tidak bisa semata karena lelah sesudah berlari, tidak cukup karena deadline pekerjaan yang sudah dibereskan.

Tubuh yang lelah dan pikiran yang lepas dari beban-beban dari kutukan ideologi sukses saja tidak cukup.

Tubuhmu masih meminta suasana yang tenang, hawa yang sejuk dan kasur yang bersih. Tubuhmu juga masih menghendaki pemenuhan spiritualitas demi menjaga ketenangan berdiam di rongga batin wahai manusia yang pulang pergi di antara sungai, pinggir hutan dan kota kecil.

Atau, kamu bisa butuh daftar tambahan: kamu mesti menjaga pola makanmu, melakukan diet gawai dan meditasi yang rutin. Kamu mesti menciptakan semesta relaksasi bagi tubuhmu yang kelelahan bertarung karena menganut jalan: Demi Kau dan Si Buah Hati-nya Om Pance Pondaag. Ahaai.

Semuanya terus terbaca seperti proyek (terhadap) tubuh demi terus survive sebagai Sapiens. Dan, dalam daftar panjang penemuan manusia demi menjaga keberlangsungan, saya hanyalah nomad digital dengan udik-isme yang menyala-nyala.

Maksudnya, terkaget-kaget, latah dan keseringan berbicara dengan dirinya sendiri. Hehehe.

Hal lain dari tubuh yang kini memiliki saluran untuk bersuara menuntut hak-haknya terhadap pola hidup yang menjaga sehat, teknologi pengawasan ala Jam Pintar ini juga memberi penegasan jika saya sedang hidup dengan tenaga dorong kecerdasan artifisial (AI) dalam sistem medis.

AI sebagai perpanjangan tangan dari kerja insitusi rasional yang berkembang oleh penemuan-penemuan sains di bidang kesehatan manusia dengan seperangkat metodologi yang menjaga manusia hidup lebih sehat (dan lama). Sekurang-kurangnya, ia memberi peringatan tentang kondisi-kondisi yang mesti dihindari.

Tentu saja patut dicurigai dalam irisan kepentingan yang lain, teknologisasi seperti ini adalah rantai komoditas yang berkelindan rapat dengan produksi gaya hidup manusia paska-industrial. Di dalamnya, selalu tersedia kesempatan untuk memanipulasi alias gaya-gayaan belaka.

Di balik jejaring teknologi perekam gerak tubuh, selalu tersedia subyek dan segala motif yang tak mudah dibaca dengan memelototi permukaan belaka---termasuk tulisan ini, kan? Hihihi.

Melampaui itu, AI yang seperti ini hanyalah unit kecil dari kuasa yang lebih besar. Yang terlibat dalam ambisi segelintir manusia melawan takdir kematian. Melawan takdir kesementaraan karena kematian adalah dorongan terbesar yang kini menghidupi mimpi umat manusia sesudah lulus dari ujicoba kelaparan dan serangan wabah. Revolusi sains adalah motornya. Kira-kira begitulah proyek Homo Deus dalam risalah Harari.

Keberadaan tubuh tidak lagi boleh didikte oleh tamsil tunggal dari zaman teologi atau metafisis.

Tapi, ini mungkin terlalu serius untuk tubuh dengan bentukan pinggiran yang selalu luput dari control ketat ala disiplin urban---bahkan menolak dengan cara melarikan diri, seperti pernah dicatat di Jalan Buntu Bernama Jakarta.

Tubuh pinggiran seperti yang saya peluk bertahun-tahun lama ini hanya sedang menjaga momentum agar selalu berada di titik bersemangat. Terutama sekali, menyelamatkan dirinya sendiri dari pasang surut kehendak untuk berlari. 

Di dalam sana, teknologi pengawasan tubuh ala jam pintar berharga murah bisa saja adalah "revolusi kecil" yang memberi kesempatan mengenali lagi tubuh sendiri. Sekurang-kurangnya mewaspadai bahwa kita tidak selalu memberi perlakukan yang cukup bagi keseimbangan. Apa yang disangka tubuh saya bisa jadi tubuh bersama saya.

Sebab, bukankah tubuh manusia dalam spektrum sejarah memang tidak dibentuk oleh rangkaian peristiwa sederhana?

Zaman pemurnian teologis, tubuh manusia didisiplinkan oleh moralisme yang meletakan (hasrat dalam) tubuh sebagai simbolisme dosa karena itu harus dikekang. Dalam zaman metafisis, tubuh mungkin hanyalah penjara bagi kebebasan rasio. Karena itu, nasibnya sama: harus dikekang.

Narasi tubuh tidak pernah berdiri di luar semesta sosial dan ideologi. Pun kegantengan atau kecantikan yang di-cap padanya. Tapi saya tidak berdiri dalam kerumitan pertengkaran tafsir seperti di atas.

Teknologi pengawasan tubuh yang saya gunakan hanyalah usaha kecil belaka. Ingin lebih menyadari kalau saya sedang mengawasi diri sendiri.

Mbulet bukan? 

Hidup ini sederhana. Yang rumit daya tahannya. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun