Keberadaan tubuh tidak lagi boleh didikte oleh tamsil tunggal dari zaman teologi atau metafisis.
Tapi, ini mungkin terlalu serius untuk tubuh dengan bentukan pinggiran yang selalu luput dari control ketat ala disiplin urban---bahkan menolak dengan cara melarikan diri, seperti pernah dicatat di Jalan Buntu Bernama Jakarta.
Tubuh pinggiran seperti yang saya peluk bertahun-tahun lama ini hanya sedang menjaga momentum agar selalu berada di titik bersemangat. Terutama sekali, menyelamatkan dirinya sendiri dari pasang surut kehendak untuk berlari.Â
Di dalam sana, teknologi pengawasan tubuh ala jam pintar berharga murah bisa saja adalah "revolusi kecil" yang memberi kesempatan mengenali lagi tubuh sendiri. Sekurang-kurangnya mewaspadai bahwa kita tidak selalu memberi perlakukan yang cukup bagi keseimbangan. Apa yang disangka tubuh saya bisa jadi tubuh bersama saya.
Sebab, bukankah tubuh manusia dalam spektrum sejarah memang tidak dibentuk oleh rangkaian peristiwa sederhana?
Zaman pemurnian teologis, tubuh manusia didisiplinkan oleh moralisme yang meletakan (hasrat dalam) tubuh sebagai simbolisme dosa karena itu harus dikekang. Dalam zaman metafisis, tubuh mungkin hanyalah penjara bagi kebebasan rasio. Karena itu, nasibnya sama: harus dikekang.
Narasi tubuh tidak pernah berdiri di luar semesta sosial dan ideologi. Pun kegantengan atau kecantikan yang di-cap padanya. Tapi saya tidak berdiri dalam kerumitan pertengkaran tafsir seperti di atas.
Teknologi pengawasan tubuh yang saya gunakan hanyalah usaha kecil belaka. Ingin lebih menyadari kalau saya sedang mengawasi diri sendiri.
Mbulet bukan?Â
Hidup ini sederhana. Yang rumit daya tahannya.Â
***