Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Heroic Losers atau La Odisea de los Giles", Momen Bersatunya Para Pecundang

29 Oktober 2020   08:15 Diperbarui: 16 Desember 2021   08:32 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film (Sumber: www.imdb.com)

Kau ingin meledakkan semuanya? Kau lebih gila dari Bakunin! - Antonio Fontana kepada Fermin Perlassi

Di tengah perayaan Sumpah Pemuda, ketika heroisme anak-anak muda dihidupkan lagi, kita perlu melihat cerita dari mereka yang terlanjur dikategorikan sebagai pecundang. 

Mereka sering terlihat sebagai orang-orang lugu, selalu taat aturan, serba nrimo, tak memiliki mimpi muluk-muluk apalagi ambisi sebagai penguasa. Namun selalu dimakan oleh kemalangan. Mereka, para pecundang ini, mungkin juga diri kita sendiri.

Film (Sumber: www.imdb.com)
Film (Sumber: www.imdb.com)
Kita bisa menikmati kisah para pecundang yang tidak diam menerima nasibnya di film yang didistribusikan Warner Bros dan sudah tayang di Argentina pada 15 Agustus 2019. Film ini memang mengambil latar krisis di negeri dimana Maradona dan Messi dititipkan. 

Berikut plot dan dinamika konfliknya.
Tahun 2001, di musim yang hangat. Di sebuah kota kecil bernama Villa Alsina. 

Fermin Perlassi bersama istrinya Lidia dan  Antonio Fontana menatap rongsokan "La Metodica" yang telah bangkrut 10 tahun. "La Metodica" adalah nama koperasi pertanian. Mereka ingin menghidupkan lagi itu. Menggelorakan kembali hidup di kota kecil dengan gotong royong dan sama rasa. Dari optimisme yang sedikit romantik ini, mereka memulai dengan mengumpulkan modal awal. Modal patungan.

Fermin, yang juga mantan pesepak bola bergerak sebagai koordinator rencana ekonomi kerakyatan ini. Fermin memiliki masa lalu pesepak bola yang sukses. Warga bahkan membuatkan patung demi mengabadikan kegemilangannya. Sayang, patung itu seperti museum yang tidak terawat. Hanya untuk menunda lupa belaka. 

Sementara Lidia adalah seorang istri yang bersemangat dan sederhana. Bersama Fermin, mereka telah memiliki seorang anak lelaki yang tengah menempuh studi di La Plata. 

Mereka juga memiliki toko kecil dan stasiun pengisian bahan bakar. Sebenarnya, kalau sekadar untuk hidup sebagai keluarga batih di Villa Alsina, mereka akan baik-baik saja. Tapi Lidia tidak seegois itu. 

Adapun Antonio Fontana yang lebih sepuh dari pasangan suami istri itu, lebih tampak sebagai juru bicara ideologi. Sebagai penganut sisa-sisa anarkisme Amerika Latin, Antonio berkehendak mewujudkan komunitas kecil yang mampu survive di hadapan negeri atau institusi yang mengada dari mengatur individu. 

Maka, dengan gagasan yang tak lekang dimakan usia, mereka menjaring pengikut yang berlatar belakang macam-macam. Mereka membutuhkan sekitar 300.000 peso untuk investasinya. Ada dua bersaudara Gomes, pekerja rendahan, dengan tindakan yang sering dicap tolol. 

Lalu ada seorang janda pengusaha pelayaran, Carmen Lorgio, yang memiliki anak lelaki bermasalah. Lantas, seorang pria yang tinggal dalam rumah sesak bersama seorang istri dan anak-anak. Seolah saja, hidupnya hanya untuk berketurunan. Medina namanya. 

Singkat cerita, perkumpulan kecil ini sukses mengumpulkan modal bersama. Duit senilai 158, 653 peso. 

Fermin kemudian pergi ke bank untuk menyimpan duit itu brankas. Namun oleh Alvarado, si manejer bank, duit tersebut disarankan untuk dimasukan ke dalam rekening pribadi sebagai jaminan. Ini demi membuat Bank Sentral percaya dalam boleh mengucurkan kredit. 

Fermin sebelumnya tidak tahu jika dia sedang dimanipulasi. Uang kolektif mereka malah ditarik Alvarado untuk diberikan kepada kreditur lain bernama Manzi yang juga seorang advokat. Kolaborasi Alvarado dan Manzi ternyata bukanlah aksi mendadak. Lebih sebagai kejahatan kaum intelektual. 

Keduanya telah mengetahui kebijakan nasional Argentina yang membekukan semua akun dalam mata uang dolar AS dan melarang penarikan harian lebih dari 250 peso.  Uang milik Fermin, dkk dibawa kabur sebelum kebijakan itu berlaku. Contoh dari kejahatan kerah putih (White Collar Crime) yang memanfaatkan krisis demi menyelamatkan kelompok sendiri.  

Sinopsis film yang dibintangi Ricardo Darin, Luis Brandoni, Veronica Llinas bisa dibaca juga di Kompas.com.

Konflik Ideologi dan Para Pecundang
Sampai di titik ini, penonton terus tahu jika para pecundang yang heroik bukan aksi balas dendam biasa. Arus balik perlawanan orang-orang kecil ini dibingkai oleh narasi krisis ekonomi (ala Neoliberal) di daratan Amerika Latin, kejahatan kerah putih dan gagasan ekonomi koperasi di sebuah kota kecil. 

Tegas kata: Gagasan menghidupkan kembali koperasi bisa dikontraposisikan sebagai aksi kolektif agar krisis ekonomi nasional tidak memicu maraknya aksi menyelamatkan diri sendiri atau saling memangsa!

Dengan kata lain, kepecundangan Fermin, dkk itu tidak dibentuk oleh alasan-alasan yang remeh. Fermin, dkk sedang menyiapkan alternatif terhadap krisis yang diproduksi negara dan institusi penopangnya. Harga yang harus ditanggung mereka juga tidak main-main.

Fermin, yang paling parah. Ia harus kehilangan istrinya yang bersemangat karena kecelakaan sesudah pulang dari menemui Alvarado. Anak lelaki semata wayangnya harus berhenti belajar di La Plata. Belum lagi nama baik yang rusak. Setahun lama ia menanggung penderitaan.

Lalu datang momentum untuk melakukan pembalasan. Manzi dikabarkan kembali lagi ke Villa Alsina. Mereka juga tahu Manzi membuat bunker untuk menyimpan uangnya. Namun Antonio Fontanalah yang menghidupkan kembali asa untuk mengambil kembali hak-hak mereka. 

Kata-katanya yang paling membakar Fermin adalah "Aku kira ini momentum untuk memperoleh kembali keadilan. Tapi ternyata, teman kita ini inginnya bermain-main sebagai korban. Aku sudah muak dengannya! Disangkanya cuma dia yang mengalami kehilangan."

Tidak menunggu lama, Fermin bangkit dan menjadi aktor intelektual dari aksi merebut kembali hak-hak para pecundang. 


Pada cerita selanjutnya, kita dibawa sang sutradara menyaksikan rapat-rapat kecil, penyepakatan rencana dan pembagian peran dalam aksi. 

Dari menyusupkan anak Fermin sebagai mata-mata ke kantor Manzi hingga melacak jenis alarm yang digunakannya. Rencana aksi kelompok "La Metodica" dimulai dengan menciptakan gangguan kecil pada bunker penyimpangan hingga penghancuran gardu listrik yang menggelapkan seluruh kota. 

Dalam aksi melawan balik ini, terasa sekali usaha para penulis naskah menciptakan kesan yang logis dari setiap tindakan yang dipilih. Dengan begitu, perlawanan para pecundang ini tidak terbaca sebagai amuk biasa yang terlalu sederhana dalam memenangkan pertarungan. Untuk kerja menjaga tempo dan kemasukakalan cerita, keterlibatan Eduardo Sacheri cukup berhasil. 

Eduardo Sacheri adalah penulis novel berjudul La noche de la usina yang diadaptasi menjadi "Heroic Losers". Dari novel ini, ia meraih Alfaguara Novel Prize di tahun 2016. Salah satu ajang penghargaan bergengsi bagi para sastrawan dalam bahasa Spanyol.  

Bagaimana akhir cerita film yang disutradari Sebastin Borensztein ini?

Para pecundang itu memenangkan apa yang direncanakan merebut kembali hak-hak mereka. Lebih dari itu, mereka juga sukses mewujudkan idealisme tentang ekonomi koperasi. "La Metodica" kembali bergerak menjadi salah satu sendi ekonomi Villa Alsina.

Di "Heroic Losers", taktik sabotase dan peledakan ala anarkisme diperlihatkan sebagai salah satu senjata menghancurkan kekuatan Manzi yang melambangkan kelas atas. Kaum kaya, pintar dan berpengaruh; khas borjuasi.

Jalan kekerasan yang dipilih Fermi, dkk memang tidak terlihat sebagai opsi terakhir. Sebagaimana tidak terlalu tergambarkan keberadaan institusi penegak keadilan dalam film berdurasi  116 menit ini.

Ada kesan jika segalanya yang bersama negara dan para penopangnya adalah sumber penderitaan semata! Hanya dengan "aksi (serangan) langsung", mereka baru bisa dihentikan. Mengharapkan dialog dan persidangan hanyalah sia-sia. 

Selain potret ideologi yang menjadi sumbu konflik film ini, kita juga bisa menemukan komedi yang khas orang-orang kecil dengan hidup yang rentan dengan laku yang konyol.

Misalnya saja, sosok Medina yang beranak banyak itu lebih memilih bertahan di rumahnya yang kecil, kumuh dan selalu terendam banjir. Ketika mendapatkan bantuan relokasi pemerintah, uangnya malah digunakan untuk menyenangkan keluarganya. Ia tetap tinggal di tempat yang sama. Banjir gak banjir yang penting ngumpul.     

Pun Gomes bersaudara. Di kota kecil dengan pemukiman yang berdekatan, saling mengenal dan saling mengunjungi, mereka memilih untuk memiliki handphone. Demi apa, tanya Fermin. Biar boleh bercakap-cakap saja, jawab mereka. Ampuun.    

Terasa dekat dengan hidupmu sendiri?

Tabik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun