8 September, saya tiba di bandara Tjilik Riwut, Kalimantan Tengah.Â
Lalu dengan jasa travel menempuh perjalanan darat sekitar 140-an kilometer atau sekitar 3 jam ke Kabupaten Kuala Kapuas. Salah satu kabupaten yang disebut sebagai "Kota Air" karena merupakan perjumpaan dari tiga aliran sungai.Â
Tiba menjelang pukul 15.00, tidak banyak jejak ruang yang bisa direkam. Baru pada tanggal 10, pada suatu lari pagi, kota ini tiba-tiba saja menghadirkan apa yang saya rindukan bertahun lama. Bukan sebatas tempat namun juga riwayat.
Saya adalah manusia dari kota kecil. Ke-mikroskopik-an saya, katakanlah begitu, dibentuk oleh pengalaman dan penghayatan akan realitas pinggiran yang intens. Apa yang disebut pinggiran selalu mengandaikan adanya pusat, antara "core" dan "periphery" walaupun dalam faktualitasnya selalu relatif kalau bukan tumpangtindih.Â
Jadi saya ingin menggunakan pengertian pinggiran seperti berikut ini.
Pertama, bisa jadi karena letaknya yang jauh dari pusat (jika kita membayangkan ada sebuah pusat yang serba mengatur dan memproduksi angan-angan) maka pinggiran itu tidak mengkondisikan warganya adu cepat dalam produksi angan-angan dan tertib pengaturan.Â
Kedua, karena itu, pinggiran bisa jadi ada ruang hidup yang belum dibentuk oleh kompleksitas fungsi, persaingan dan keinginan-keinginan yang tidak selalu bergandeng tangan; level anonimitas sosialnya mungkin masih rendah.Â
Ketiga, bisa jadi juga di ruang pinggiran apa yang disebut sebagai "kepecundangan" bagi mereka yang kalah/tak beruntung/tersisih dari mekanisme konsumsi kolektif urban, belumlah tergolong daftar yang meresahkan. Walau tak seburuk Schindler's list. Â
Sederhananya, realitas (di) pinggiran bukan soal tiadanya benturan, miskinnya angan-angan dan situasi hampa pengaturan. Realitas pinggiran adalah keberadaan orang-orang yang masih menjaga dirinya dari tindakan saling memaksa, secara simbolik ataupun tidak. Sekurang-kurangnya, karena ruang yang kecil itu, orang-orang masih saling mengenal, baku-baku sayang, baku-baku jaga. Â
Singkat kata, di Kuala Kapuas, saya mengalami perjumpaan pinggiran yang biru.Â
Perjumpaan Biru di Pinggiran
Perjumpaan yang biru itu mula-mula karena ruang kotanya yang diikat oleh banyak persilangan jalan, membentuk perempatan dan di dalamnya ada banyak taman-taman. Selintas, Kuala Kapuas menyerupai suasana kota Sampit yang juga merupakan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi (perkebunan) di Kalimantan Tengah.Â
Namun suasana jalan dan perempatan di sini lebih terasa bersih, tertib, dan tertata. Sepanjang jalan, saya sering menjumpai pengendara kendaraan roda dua yang tertib. Bukan saja sabar di depan lampu merah, mereka juga betah menggunakan helm dan masker.Â
Perjumpaan yang terasa klise dan basi. Akan tetapi kalau kamu baru saja berada di Bogor lantas melewati Jakarta untuk tiba di Cengkareng, apa yang ditampilkan penduduk Kuala Kapuas adalah pemandangan sosial yang sejuk.Â
Sesuatu yang membuatmu merasa di pinggiran, manusia masih ada.Â
Taman-taman dan jalan yang mulus lagi bersih, bagi saya, lebih mewakili usaha-usaha merawat ruang hidup yang humanis. Melampaui kepentingan meraih Adipura, misalnya, kota kecil yang seperti ini terasa ingin merawat rasa betah warganya. Ekonominya mungkin tidak tumbuh pesat, seperti (yang disangka) dengan membangun pusat belanja dimana-mana.Â
Tapi, sejak kapan gaya hidup belanja berbanding lurus dengan kesehatan jiwa sebuah kota?
Saya memang tidak menjelajahi jenis-jenis kuliner yang bertahan maupun yang mengalami kebaruan di kota ini. Termasuk saya tidak bertemu dengan gerai-gerai fast-food mancanegara selevel McDonald atau Pizza Hut. Saya juga menghindari nongkrong di kafe-kafe kecil karena pandemi. Hanya sempat mampir ke warung bersuasana Banjar yang terletak di pinggir sungai. Sayang, lupa namanya.Â
Di warung ini, saya memesan ikan Nila bakar dan sayur asam serta sambal buah, menu yang tersedia di seluruh penjuru Kalimantan Tengah. Tidak unik, maksudnya. Perbedaannya bukan karena rasanya yang khas atau bagaimana disajikan.Â
Yang mengesankan karena saya harus menghabiskan ikan yang lebih besar (kira-kira dua telapak tangan orang dewasa) dari porsi nasinya. Kondisi seperti ini tidak saya temui di Palangkaraya, setidaknya di warung yang saya datangi.Â
Mudah-mudahan saja, layanan kuliner seperti ini adalah bagian yang tidak disengaja dari cara-cara mengurangi laju diabetes.Â
Perjumpaan biru selanjutnya adalah dengan ruang yang kecil dan mobilitas penduduk yang tidak terburu-buru, berlari di jalan-jalan kota ini adalah kebahagiaan kecil yang kelihatan sepele padahal tidak.Â
Dalam dua kali lari pagi, saya menikmati udara fajar yang lengang. Kalaupun ada lalu lalang kendaraan, hanya jenis roda dua yang dominan. Sangat jarang bertemu mobil, apalagi truk milik perkebunan yang mudah dijumpai di kota Sampit.
Udara relatif segar. Tubuh serasa menemukan jodoh ruangnya, ahai. Berlari mengeliling kota serasa tamasya bagi tubuh yang acapkali takluk di depan bujuk rayu kasur.Â
Daftar perjumpaan di atas tentulah sesuatu yang saya narasikan secara subyektif dan berasal dari masa yang singkat belaka. Dengan begitu, kesaksian yang sentimental seperti ini tidak mewakili apa-apa selain suara batin sendiri.
Sementara sisanya, arti sentimental perjumpaan dengan "Kota Air" ini adalah karena ia menghidupkan kenangan akan Serui.Â
Satu kota kecil di Tanah Papua yang masih terasa bergerak dengan irama yang lambat. Kota yang terakhir saya kunjungi di tahun 2011 ini masih serasa tahun-tahun dimana masa-masa mandi di sungai Mariadei, berburu ikan di got, dan main bola di lapangan Trikora sampai lupa Magrib masih sama saja.
Jalan-jalannya yang kecil pun terasa lengang. Keramaian masih saja bertumpu di pasar tradisional. Tak ada mall yang besar dan menghisap seluruh penduduk kota kedalam tentakel konsumsinya.Â
Lebih dari itu, di kota dimana Sam Ratulangi pernah melewati masa pengasingan dan melakukan pengorganisasian nasionalisme ini, orang-orang masih merawat ingatan. Perjumpaan dengan Serui pernah saya tuliskan di Memori Kota Serui; Pelajaran dari Perjumpaan Kembali.Â
Kuala Kapuas yang tidak lebih dari sebulan saya singgahi menghidupkan atensi terhadap ingatan itu. Seperti sungai-sungai yang mengalir jauh dan beranak pinak, apa yang memelihara identitas kepinggiran saya ternyata tidak lekang oleh waktu dan perpindahan urban.
Dengan setianya, mereka merawat kenyamanan saya pada kota yang kecil, lengang dan orang-orang yang tidak suka terburu-buru.
***
(Sampit, di antara ricuh UUCK)Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H