Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kuala Kapuas, Kisah Jumpa Pinggiran

9 Oktober 2020   13:06 Diperbarui: 10 Oktober 2020   05:12 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bundaran kecil dekat kawasan Perkantoran/Dokumentasi Pribadi.

Perjumpaan yang biru itu mula-mula karena ruang kotanya yang diikat oleh banyak persilangan jalan, membentuk perempatan dan di dalamnya ada banyak taman-taman. Selintas, Kuala Kapuas menyerupai suasana kota Sampit yang juga merupakan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi (perkebunan) di Kalimantan Tengah. 

Namun suasana jalan dan perempatan di sini lebih terasa bersih, tertib, dan tertata. Sepanjang jalan, saya sering menjumpai pengendara kendaraan roda dua yang tertib. Bukan saja sabar di depan lampu merah, mereka juga betah menggunakan helm dan masker. 

Perjumpaan yang terasa klise dan basi. Akan tetapi kalau kamu baru saja berada di Bogor lantas melewati Jakarta untuk tiba di Cengkareng, apa yang ditampilkan penduduk Kuala Kapuas adalah pemandangan sosial yang sejuk. 

Sesuatu yang membuatmu merasa di pinggiran, manusia masih ada. 

Tugu Batang Garing/Dokumentasi Pribadi.
Tugu Batang Garing/Dokumentasi Pribadi.
Perjumpaan biru selanjutnya karena kota seperti Kuala Kapuas, terutama di pagi hari, adalah rumah bagi mereka yang ingin berlari. Bukan cuma jalanan yang rapi dan mulus, kota yang memiliki motto "Tingang Menteng Panunjung Tarung" juga menyediakan taman-taman kota yang enggan semata mempercantik dirinya. Atau, semata menunjukan selera penguasanya terhadap ruang dan masa depan yang disangka mewakili semua orang.

Taman-taman dan jalan yang mulus lagi bersih, bagi saya, lebih mewakili usaha-usaha merawat ruang hidup yang humanis. Melampaui kepentingan meraih Adipura, misalnya, kota kecil yang seperti ini terasa ingin merawat rasa betah warganya. Ekonominya mungkin tidak tumbuh pesat, seperti (yang disangka) dengan membangun pusat belanja dimana-mana. 

Tapi, sejak kapan gaya hidup belanja berbanding lurus dengan kesehatan jiwa sebuah kota?

Bundaran kecil dekat kawasan Perkantoran/Dokumentasi Pribadi.
Bundaran kecil dekat kawasan Perkantoran/Dokumentasi Pribadi.
Perjumpaan biru alias berkesan berikutnya adalah layanan kuliner. 

Saya memang tidak menjelajahi jenis-jenis kuliner yang bertahan maupun yang mengalami kebaruan di kota ini. Termasuk saya tidak bertemu dengan gerai-gerai fast-food mancanegara selevel McDonald atau Pizza Hut. Saya juga menghindari nongkrong di kafe-kafe kecil karena pandemi. Hanya sempat mampir ke warung bersuasana Banjar yang terletak di pinggir sungai. Sayang, lupa namanya. 

Di warung ini, saya memesan ikan Nila bakar dan sayur asam serta sambal buah, menu yang tersedia di seluruh penjuru Kalimantan Tengah. Tidak unik, maksudnya. Perbedaannya bukan karena rasanya yang khas atau bagaimana disajikan. 

Yang mengesankan karena saya harus menghabiskan ikan yang lebih besar (kira-kira dua telapak tangan orang dewasa) dari porsi nasinya. Kondisi seperti ini tidak saya temui di Palangkaraya, setidaknya di warung yang saya datangi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun