"Terasa aroma coklat," terang saya. Pelan dan ragu. "Iya, coklat dan asam. Kopi kalau diurus bener, kayak begitu," kata Mas Pepeng. Ia meyakinkan jika penilaian lidah saya tak meleset. Sedang pada kopi yang diteguk sahabat saya, ada aroma vanili yang kuat ketika tiba di tenggorokan. Intinya, sedap. Kami puas pada rasa dan sedikit cerita.Â
Sebenarnya, saya masih ingin bertanya apakah interaksi Klinik Kopi dengan para petani sudah bisa dibayangkan sebagai sistem ekonomi yang saling menopang dan berkembang menjadi sistem budaya dimana nilai-nilai tertentu tentang kopi dilestarikan namun waktu tiada kuasa ditunda.
"Kalau mau foto, bisa nanti gantian Mas."Â
Hahaha. Akhirnya kami tiba di bagian kunjungan yang sama pentingnya. Foto selalu penting bagi kebutuhan konten, bukan? Bukan cuma alat bukti yang tak terbantahkan Bahia kita pernah datang ke sebuah tempat dan karena itu berhak atas cerita yang dituliskan. Celakanya, saya kesulitan memasukan beberapa foto kedalam artikel ini, hiks.
Kopi adalah juga kehadiran dari kerja dan cinta petani, pertarungan pasar dan pasang surut selera, serta bagaimana ia disajikan di ruang konsumsi urban.
Ini dalam pandangan terbatas saya. Dari kunjungan singkat yang tergesa-gesa.Â
[Kpg-Maret 2020]Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H