Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Lari 10 Km dan Perayaan Diri

22 Februari 2020   10:20 Diperbarui: 23 Februari 2020   10:46 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
10 Kilometer Ketiga yang Terekam di Strava | Dok. Pribadi

It does not matter how slowly you go so long as you do not stop - Confucius

Bacalah testimoni ini dengan kesadaran sebagai pemula. Atau lebih tepatnya amatir. 

Sebelumnya, saya pernah menunjukan latar belakang bercabang-cabang yang menuntun pada pilihan untuk berlari. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terencana secara terang sejak awal. 

Ada dua catatan testimoni perihal ini. Yang pertama, berjudul Berlari, "Healthisme" dan Cerita Seorang Amatir. Di dalamnya, ada kesaksian tentang tekad sederhana membawa tubuh tetap berlari, berlari, berlari saja. 

Ada perjuangan diri mengajak tubuh agar tetap tabah melewati sesak nafas, keram di sekujur dan provokasi kemalasan. Ada tubuh yang menyadari bahwa berlari adalah ekspresi gaya hidup dan berusaha mengatasi sekadar euforia. 

Lantas kedua, Madrasah Ramadan dan "Momen-momen Pembebasan" yang Sederhana. Kali ini, catatan testimoninya lebih menceritakan dorongan eksternal yang membuat berlari bukanlah perkara menjaga kebugaran tubuh semata-mata. 

Sudah tidak relevan lagi memisahkan agar yang tubuh dan yang spirit/kehendak/semangat. Namun, tetap saja, "niat/kehendak yang dimurnikan" harus menjadi syarat yang dipenuhi. Ada yang spiritual di dalam berlari. Wahaii. 

Dua catatan ringkas itu bisa memberi jendela pandang untuk melihat sejauhmana saya (dalam kehadiran tubuh dan hasrat) menjadikan berlari sebagai salah satu modus untuk menjadi (becoming). Semacam pilihan proses, tentu salah satunya saja, demi menemui diri sendiri yang selama ini mungkin tersembunyi dan tak banyak diajak berbicara.  

Yang tertuliskan di bawah ini mungkin akan terbaca sebagai cerita mencapai sukses. 

Apa yang sudah dicapai sejauh ini sebagai "tubuh yang berlari"?

Sesudah dua tahun berlari dengan perjuangan menjaga konsistensi untuk tetap menjaga 4 kilometer sebagai target minimalnya, saya akhirnya boleh berlari 10 kilometer pertama kali di penghujung tahun 2019. Lebih penting lagi, 10 kilometer pertama kali plus seorang diri! 

Capaian ini telah saya rindukan bertahun lama, jauh sebelum memutuskan berlari dengan sungguh-sungguh.

Saya mencatatkan 10 kilometer pertama di kota Palembang. Menempuh rute dari arah Manunggal-Bukit Kecil, terus ke lampu merah besar, melewati kaki-kaki LRT hingga pasar Cinde dan benteng Kuto Besak memutar melewati pasar Sekanak dan berhenti di Kambang Iwak. 

Yang kedua, pada 28 Januari 2020 dan terakhir pada 20 Februari kemarin. Rutenya tidak banyak berubah. Target saya akhirnya boleh naik kelas. Dari konsisten di 4 kilometer kini menjadi 10 kilometer setiap bulannya. Jadi, jika direkap, maka dalam setahun saya harus bisa memiliki catatan 120 kilometer.  

Saya merasakan tubuh yang solid dan kompak ketika 10 kilometer itu tercatat di akun Strava dengan menghabiskan sekitar 2 tahun sebagai latihannya. Sungguh-sungguh ini bukan perkara yang remeh bagi amatir dengan mimpi masa kecil yang tak pernah menjadi kenyataan: masuk skuad Persipura.  

Saya jadi makin cinta pada tubuh ini, huhuhu.

10 kilometer Pertama di Jembatan Ampera | Dok. Pribadi
10 kilometer Pertama di Jembatan Ampera | Dok. Pribadi

Bayangkan saja kamu, seorang diri berusaha disiplin bersama tubuh dan hasratmu bekerjasama memenuhi target-target sederhana dari berlari. Gembira tiada terkira!

Walau begitu atau terkesan seserius itu, catatan ketiga ini tetap saja harus dibaca dengan kesadaran seorang amatir. Amatir dalam menjaga konsistensinya. 

Mungkin yang sedikit serius dalam mencintai hobi tersebut adalah tekad yang berusaha tidak kabur dari dengan pesan Jalaludin Rumi (1227-1273), The Body is only an instrument for the Spirit! sebagai idealisasinya. #Ashiiaap

Mencintai hobi itu, katakan saja, berarti melakukan jenis pengorbanan diri tertentu. Tidak demi meraih sesuatu dari luar, seperti pengakuan atau decak kagum orang lain-lagian gak pernah turut dalam lomba apalagi juara, terus buat apa? Hihihi. 

Sebaliknya, yang dilakukan sudah tidak lagi berada dalam fase yang masih membutuhkan peristiwa pengakuan, tepuk tangan atau sejenisnya. (Pahadal kalau ikut lomba, takut gagal finis, hihihi)

Pengorbanan diri yang dilakukan adalah pilihan pada jalan sunyi. Pilihan yang sejatinya, sulit nian. Pengorbanan diri itu lebih kepada mengorganisasikan tubuh, pikiran, daya tahan dan kesetiaan agar bisa bergerak dalam satu kehendak. Satu kehendak yang berusaha tetap tertib pada rencana, target dan waktu dalam berlari. Menariknya, ini dilakukan sebagai hasil dialog dengan diri. Tak ada kumpulan apalagi mentor.  

Sederhananya, satu kehendak itu bertujuan menjadi tuan atas tubuh dan hasrat sendiri. Dua bagian penting yang sehari-hari bersama namun tidak selalu milik sendiri. Terlebih karena menyadari ada dunia di luar sana dengan kompleksitas ideologi dan kuasa yang tak jarang menjadikan tubuh manusia sebagai "koloni" dari permainan (mesin-mesin hasrat). 

Tubuh dan hasrat memang tak pernah hidup di ruang hampa (kendali).

Entah demi maksud mencari untung atau untuk menciptakan keseragaman. Entah dengan dalih penciptaan lingkungan budaya (urban) yang lebih terbuka terhadap ekspresi gaya hidup tubuh atau kontestasi dari standar-standar tertentu. Maksudnya, jika kita mundur sejenak, maka pertanyaan dasar yang tidak boleh diabaikan adalah tidakkah tubuh tak melulu berupa perkara biologis?

Keterangan di atas lalu membuat berlari dan kehendak menjadi tuan terbaca sebagai "aksi menjaga kedaulatan" (whaaaattt?!!). Sekurang-kurangnya, aksi yang menyadari jika menjadi bugar bergembira adalah jalan yang sedang memperjuangkan nilai-nilai tertentu. Tidak karena bumi sedang sekarat atau masyarakat gawai sedang meniti jalan pemusnahan diri. Tapi karena dirimu sendiri, dirimu yang tak boleh disia-siakan.   

Maka dari pada itu, hobi berlari memang tidak pernah sederhana. Sekalipun ia hidup di dalam pergulatan seorang amatir yang seolah-olah sedang mencari-cari filosofi untuk memberi "dasar motivasional" bagi berlari sepanjang hayat. 

Seolah sedang menata jalan menghadapi dunia yang menghadapi obesitas sebagai salah satu pembunuh paling jahat umat manusia. Cieeh. 

10 Kilometer kedua | Dok. Pribadi
10 Kilometer kedua | Dok. Pribadi
Sesudah capaian 10 kilometer terpenuhi dan "dasar motivasional" itu makin meng-akar-kan energinya di dalam diri, apa yang semestinya selalu disadari dari perjalan proses (menjadi) yang telah digulati sejauh ini?

Sebagai subyek amatir yang rentan dengan kejatuhan atau pengulangan kesia-siaan, berlari pada dasarnya bukan deklarasi diri terhadap dunia di luar sana. Bukan juga adu lomba dari mereka yang terkuat atau tercepat. Bukan tentang siapa memenangkan apa dari siapa. Prestasi dari berlari bukanlah daftar kemenangan yang tersimbolisasi dalam medali atau lemari piala.

Bagi seorang amatir, berlari tetap saja perkara diri dan pergumulannya yang sunyi. Berlari adalah bagaimana berkomitmen kepada tubuh dan hasrat untuk tetap berada di jalurnya. 

Tidaklah penting seberapa lambat kau berlari. Yang penting jangan berhenti, bukan?

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun