Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Birds of Prey", Ketercampakan Perempuan dan Arus Balik

6 Februari 2020   01:06 Diperbarui: 6 Februari 2020   14:14 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dalam film ini (Birds of Prey), kamu akan melihat sisi Harley Quinn yang sangat berbeda, jauh lebih rentan yang membuatnya bertingkah tak menentu dan gila,"- Margot Robbie, CNN. 

Dengan berkata begini, Margot Robbie yang memainkan karakter Harley Quinn sedang mengatakan bahwa penonton harus melepas kegilaan Joker dari ingatan. 

Ini tantangan serius karena Birds of Prey (BoP) hanya bisa dibayangakan sebagai "tindaklanjut" Suicide Squad (2016) dalam proyek DC Extended Universe. Sekalipun, Joker yang diperankan Jared Leto sejujurnya tidak cukup pantas untuk dikenang.

Apakah ambisi melampaui bayang-bayang Joker ini berhasil-yang bikin saya sampai datang terlalu awal ke bioskop yang pintunya masih terkunci rapat, huhuhu- juga memuaskan imajinasi akan antihero yang "tak terduga"? 

Catatan ini berusaha melihat ide dasar dari film yang disebut Ewan McGregor (hendak) melawan misoginis. Bukan saja dalam artinya yang ekstrim tapi dalam keseharian. 

Saya ingin memulai dengan masuk ke dalam "radikalisasi kegilaan" sang mantan pemilik gelar Phd cum psikiater. Radikalisasi yang bersumber dari cerita patah hati. 

Kemudian saya ingin menunjukan jika kegilaan ini digenapi oleh riwayat ketercampakan dari 4 karakter perempuan yang bergabung dalam perlawanan terhadap mafia Gotham. 

Dengan menggunakan sudut pandang aktor utama, BoP dibuka dengan cerita Quinn tentang nasibnya yang dicampakan Joker. 

Tak ada lagi alasan mereka bertahan sebagai sepasang kekasih yang ditakuti. Putus cinta dua penjahat legendaris ini jelas memberi pergunjingan warga dunia gelap Gotham. Tapi, terhadap Quinn, yang jauh lebih berbahaya adalah bukan aksi balas dendam dari mereka yang pernah mengalami perlakuan semena-mena. 

Karenanya Quinn harus menunjukan dia mampu menghadapi transisi patah hati dan balas dendam dari musuh-musuhnya. Dia harus menjadi simbol baru sebagai dirinya sendiri dan melepas imej sebagai ex-partner sang raja diraja kejahatan Gotham. Usaha yang dimulainya dengan meledakan pabrik kimia yang menjadi monumen dari cintanya dengan Joker.

Dalam versi film yang naskahnya ditulis Christina Hodson ini, saat yang bersamaan, dikisahkan munculnya Herlena Bertinelli (Mary Elizabeth Winstead). 

Herlena adalah anak perempuan keluarga Bertineli, mafia yang dibantai oleh suruhan Roman Sionis a.k.a Black Mass (Ewan McGregor). Di malam ketika Quinn meledakkan pabrik, polisi sedang menyelidiki pembunuhan sejumlah mafia dengan menggunakan anak panah.

Herlena yang selamat dalam pembantaian itu dilatih teknik membunuh salah keluarga mafia di Italia. Kembali dengan motif membalaskan dendam, bersenjatakan panah dia menggelari dirinya Huntress.

Lantas, ada sosok Dinah Laurel Lance alias Black Canary (Jurnee Diana Smollett-Bell ). 

Dinah adalah penyanyi di klub malam milik Roman Sionis. Tapi bukan penyanyi biasa sebab getar suaranya mampu menghancurkan benda-benda dalam radius dekat. 

Ia juga sangat tangguh dalam beladiri, berbeda dengan Quinn yang disia-siakan Joker dan Herlena yang menanggung dendam kematian orang tuanya, kenestapaan Dinah tidak banyak ditunjukan. Selain bahwa dia bekerja pada Roman dan tidak bisa diam melihat perlakuan semena-mena terhadap kaumnya. 

Kemudian ada sosok Renee Montoya (Rossie Perez), seorang detektif perempuan. 

Renee adalah detektif yang cerdas dan cekatan. Ia memiliki keahlian memadukan bukti dan peristiwa kejahatan secara imajiner. Sebab itu, dia adalah pemburu kriminal yang handal. Sayang, di hadapan birokrasi kepolisian yang korup dan "patriakr", keahliannya malah jadi kutukan. Ia lebih sering disepelekan.

Terakhir, ada Cassandra Cain (Ella Jay Basco), remaja perempuan keturunan Tiongkok yang lihai mencopet. Kelihaian yang memicu bersatunya empat perempuan itu ke dalam pertempuran habis-habisan dengan kelompok Roman Sionis. 

Cassa hidup dalam keluarga angkat yang tidak benar-benar ingin mengasuhnya. Cassa merupakan tetangga serumah susun dengan Dinah. 

Kita terus bisa melihat jika "radikalisasi kegilaan" pada Quinn hanya meledak dahsyat terhadap kekuasaan mafia Gotham karena ia bersatu padu dengan kemarahan-kemarahan dari empat orang perempuan yang lain. Kebersatuan yang tidak by design. 

Mereka lebih diikat oleh benang merah psikologi yang sama: dicerabut dari kehangatan kasih sayang dan penghargaan sebagai perempuan. 

Atau dalam bahasa Cathy Yan sebagaimana dilansir CNN,"Kami mendapati dia [Harley] tanpa Joker sejak awal film, dan lewat cerita dia belajar bahwa dia tak membutuhkan siapa pun kecuali dirinya sendiri. Dia tidak perlu berteman dengan perempuan lain walaupun mereka datang sendiri, dan mereka membebaskan diri sendiri di sepanjang film." 

Sisanya, mereka menghadapi musuh bersama yang berakar pada kuasa mafia yang bersenyawa dengan "misoginisme". Roman Sionis alias Black Mass adalah representasi dari kemafiaan yang misoginis itu.  


Sampai di sini, dengan membebaskan Harley Quinn dan berusaha membangun "narasi tandingan" atas kegilaan Joker, apakah BoP sukses menampilkan sosok Harley Quinn yang layak? Atau dalam bahasa Margot Robbie, Quinn yang lebih rentan dan tak terduga? 

Sejauh melihat sosok Quinn dalam akting Margot Robbie, saya memang menikmati karakter antihero yang eksentrik. Karakter yang sebelumnya memang sudah menonjol di Suicide Squad. 

Melihat sosok perempuan yang kegairahannya pada sadisme dan aksi-aksi liar cukup tersampaikan. Juga pertunjukan perihal kejiwaan yang menikmati brutalisme kekerasan sebagai seni mencapai tujuan. 

Potret ini paling kelihatan manakala Quinn pergi ke kantor polisi untuk membebaskan Cissa. Quinn membuat polisi laki-laki ibarat sansak bagi keahliannya menggunakan shot gun dan berkelahi tangan kosong. 

Sayangnya, walau kini terlihat Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn) adalah cerita tentang arus balik perlawanan perempuan yang tercampakan kepada inti kekuasaan mafia, dalam pertempuran puputan dengan pasukan Black Mass, penonton hanya menyaksikan baku pukul yang datar. 

Black Mass dan pasukannya terlalu gampang dihancurkan. Sesuatu yang janggal mengingat betapa superiornya kekuasaan Black Mass. 

Black Mass jelas tidak memiliki lingkaran inti yang benar-benar loyal dan terlatih sebagai mesin pembunuh. Kondisi yang tidak lazin terjadi pada pucuk pimpinan kejahatan. 

Sebaliknya, kumpulan 4 perempuan ini terlalu tangguh, lihai dan lumayan sadis. Masalah mereka rasanya ada di diri masing-masing. Bukan pada situasi eksternalnya.

Maka dari itulah, kalau kontras demikian dimaksudkan sebagai kemenangan geng perempuan terhadap perkumpulan mafia dan misoginisme, penonton terlalu cepat dihantarkan pada happy ending. 

Perkumpulan mafia itu hanya tampak seperti pemandu sorak yang naas. Perkumpulan yang tidak mungkin pernah melahirkan masalah yang memusingkan Batman.  

Arus balik perlawanan dan kemenangan Quinn, dkk terlalu sederhana. 

***  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun