Kita terus melihat jika teknologi selfie dan narsisme, perburuan sensasi dan kecepatan ala digitalisme sebagai daya dorong dari narasi kemalangan-kemalangan anak manusia paska-modern adalah salah satu pusat tema dalam kumpulan puisi ini.Â
Daya dorong yang akselerasinya makin dipermudah oleh kegagalan subyek di ruang yang lain. Yakni subyek dengan daya literatif yang kuat.Â
Walau puisi-puisi di atas telah cukup memberi kita "suasana yang tragik sekaligus jenaka" dari manusia digital, ada satu karya lagi yang kiranya mencerminkan momen dari kejatuhan manusia modern di hadapan teknologi temuannya. Teknologi yang semestinya memfasilitasi hidup menjadi lebih bermakna.
Mari kita simak lagi yang getirnya mengiris-iris. Juga ironis.
PATAH HATI
Hati-hati dengan hati.
Hatimu yang getas terbuat
dari patahan-patahan hati
yang dirangkai dan direkatkan
oleh tangan tersembunyi.
Aku pernah menemukan
patahan hatimu tercecer
di meja kafe, terlantar di antara
cangkir kopi, asbak, tisu
remah-remah sepi, dan kucing
yang lagi lelap bermimpi.
Waktu itu kau habis cekcok
dengan ponsel kesayanganmu.
Kau kecewa dan marah
kepada hatimu sendiri:
"Kembalikan kewarasanku!"
(2019)
Di masa serba sosial media ini, hati yang berantakan dan kehilangan kewarasan tidak mesti berakar pada sebab eksternal. Bersumber pada sesuatu yang terlepas dari kita, eksis di luar sana dan "mengancam".Â
Ia sangat bisa jadi hadir oleh sesuatu yang kita peluk saban hari. Sesuatu yang menyambungkan kita dengan pengalaman jumpa (daring) tanpa harus hadir di sana.
Romantika yang pedih muncul ketika kita kehilangan-sekali lagi!-kemampuan untuk berjarak. Kehilangan keberanian memutuskan keterikatan dengan teknologi ponsel pintar yang lambat laun justru menjadikan penggunanya tampak bodoh.Â