Pada riwayat Minnah ini, saya paling suka puisi yang berjudul:Â
KEPALA MINNAH
Kepala Minnah
mengandung perpustakaan
tempat buku-buku,
meja-meja,
kursi-kursi
menyusun sunyi
(2019)
Minnah baru satu semesta puitik yang memberi kita "situasi keberjarakan". Bahwa salah satu bahaya adu sensasi dan kecepatan dalam kehidupan warganet di koloni +62 atau mungkin di banyak tempat. Ngegas saja dulu, paham belakangan!
Bahaya seperti ini bukan saja mengantarai kemunculan sikap-sikap reaksioner dalam kehidupan majemuk. Terlebih jika menyentuh ihwal yang sensitif.Â
Lebih dari itu, ketika "sensasi dan kecepatan digitalisme" berkawin dengan teknologi narsisme, manusia juga rentan mengalami pendangkalan pengalaman religius atau kehadiran yang spiritual. Di dalamnya, ada pengalaman keterasingan yang mengerikan.Â
Kehilangan yang religius itu bisa dicandrai dalam puisi berjudul;
MALAM VIRTUAL
Tuhan
yang menyalakan sinyal
di antara bual-bual
yang viral,
kucari Natal-ku
yang sunyi
di tengah
timbunan sampah digital.
(2018)
Lantas, bagaimana keterasingan diri yang diawetkan oleh teknologi narsisus itu merefleksikan "keganjilannya" dalam puisi?
Jokpin menghadirkan puitika kritik yang seperti ini:
FOTOKU ABADI
Saban hari ia sibuk
mengunggah foto barunya
hanya untuk mendapatkan
gambaran terbaik dirinya.
"Siapa yang merasa
paling mirip denganku,
ngacung!" ia berseru
kepada foto-fotonya.
Semua menunduk, tak ada
yang berani angkat tangan.
Dan ia makin rajin berfoto.
Teknologi narsisme
terus dikembangkan
agar manusia selalu
mampu menghibur diri
dan merasa bisa abadi.
(2018)