di antara detak jarum jam, bau hujan gerimis
dan malam basah yang memenuhi kekosongan.
aku berbicara dengan kematian. lama kunanti tiba.
dia datang membawa bau tanah.Â
wajahnya kulihat sumringah.
"telah sampai juga waktumu."
iya. telah sampai.
"aku ingat, kau lahir di kampung tanpa cahaya. orang-orang suka bercerita,
bertatap wajah dan membenci pura-pura. mereka sederhana. berusaha selalu tertawa."
iya, aku adalah orang-orang kampung tanpa khawatir hari tua.
"Lima. kau ingat?"
pertanyaan tolol. aku tidak pernah melupakannya.
"sayang, dia mati lebih muda."
aku masih ingat bagaimana dia mati. dia bahagia, kok.
"hari ini, kau akan mati juga."
aku telah menanti mati sejak hari itu. kusangka kau sudah tahu.
"tapi sebaiknya, kau jangan mati dulu."
lho, apa bedanya? mati nanti atau hari ini, aku sudah tiada sejak Lima tak ada.
hidup kami menopang, saat sengsara dan bersukacita.
bagaimana bisa kau menyederhanakannya?
"kau tak mungkin mengakuinya, bukan?"
heh, mengakui apa?
"kau tidak pernah mencurigai kesalahan-kesalahanmu."
Hmm.
"Lima mangkat oleh kealpaanmu. naif. wajahnya tinggal bisa tersenyum. tak tahu lagi
bagaimana menunjukan sedih. Lima tak ingin kau membenci diri sendiri."
bangsat! kau ingin aku teraniaya seberapa lama lagi?
"pernahkah kau resah, bagaimanakah Lima bahagia?"
***