Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Knives Out", di Antara Komedi Kaum Sugih dan Politik Anti-Imigran

21 Desember 2019   00:10 Diperbarui: 21 Desember 2019   15:51 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Thrombey yang putus asa di Knives Out (2019) | flickreel.com

The family is truly desperate. And when people get desperate, the knives come out - Benoit Blanc

Di perhelatan Golden Globe Awards ke-77 belum lama ini, Knives Out sukses meraih tiga nominasi untuk kategori film Musikal atau Komedi. Nomasi itu untuk Best Motion Picture, Best Actor (Daniel Craig) dan Best Actress (Ana de Armas). Raihan yang rasanya wajar.

Pasalnya, dalam pertimbangan amatir saya, Daniel Craig yang lebih kental sebagai agen James Bond dalam beberapa tahun terakhir kali ini tampil beda. Melakoni karakter Benoit Blanc, tampil sedikit berlemak dengan suara berat pemadat cerutu, ia menghilangkan citra diri Bond yang "metroseksual". 

Sedang untuk Ana de Armas (yang pertama kali saya jumpai dalam duetnya dengan Keanu Reeves di Exposed, 2016), ia sukses tampil sendu sebagai Marta Cabrera. Marta adalah perawat imigran yang peluh welas asih, rapuh dan sesekali lugu. Ia hidup bersama adik dan ibunya yang masuk ke Amerika secara ilegal.

So, jika Benoit Blanc adalah detektif swasta yang profilenya diulas oleh New Yorker dan muncul di ciutan Twitter adalah kehadiran dari penegakan hukum dan rasionalisme, maka Marta hidup di sisi yang paling rahasia dari Harlan Thrombey. Sisi yang "emosif-subtil".

Harlan adalah penulis novel kriminal terkenal sekaligus kepala utama dari kontrol atas kekayaan, baik dalam perburuan maupun ketika didistribusikan. Masalahnya, Harlan memiliki anak-anak yang masih hidup di seputar capaian-capaian dari kerja kerasnya. 

Ia sukses membangun imperium bisnis penerbitan yang dikelola anak lelakinya (yang selalu terlihat murung dan hanya bisa menjadi bayang-bayang); membiayai bisnis anak perempuannya (dengan suami yang tak berdaya dan berselingkuh) bersama anak lelaki yang hanya bisa bersenang-senang serta mengurusi cucu perempuan yang membutuhkan biaya sekolah dari seorang ibu yang bangkrut tapi serakah. 

Sayang sekali, buruk bagi anak-anaknya: Hugh yang telah mencapai umur 85 tahun adalah pekerja keras, disiplin dan serba rasional. Menjadi kikir akan rasa kasihan adalah keniscayaan seorang Harlan bagi anak-anaknya. 

Ia seolah mewakili angkatan kerja dalam masyarakat kapitalisme awal yang mengimani kerja keras sebagai panggilan bagi penebusan dosa manusia yang malang. Memang, dalam film ini Harlan tidak dikesankan sebagai seorang yang religius. Namun konteks keluarga Amerika justru membuat citra diri seperti ini sebagai referensi utamanya.

Di malam yang di mana Harlan kemudian ditemukan mati dengan leher tersayat, sikap teganya itu menjadi pemicu bagi banyak motif yang ditelisik Benoit. Malam naas yang dijuduli Benoit Blanc sebagai "tragedi atas kesalahan". 

Benoit melihat kasus ini dalam analogi donat: ada tangan yang berusaha menjaga bolongan di tengah tidak memiliki potongannya.

Lalu, kita melihat Benoit yang tampil seolah Hercule Poirot, ketimbang Sherlock Holmes-jika referensi kisah figur detektif kita hanya dua sosok ini. 

Pelan-pelan, ia menelisik daftar motif, merekonstruksi kronologi kehadiran dan peristiwa, waktu kematian dari penggal-penggal kesaksian mereka yang hadir di malam perayaan ultah. 

Sesekali ditimpali tingkah konyol rekan kerjanya yang masih sempat memuji karya-karya Harlan di tengah suasana interogasi dan perasaan duka. Atau, reaksi ganjil tubuh Marta yang selalu muntah jika mendengar kebohongan; seolah lie detector.

Apakah, dengan alur dan karakter tokoh seperti ini, sutradara Rian Craig Johnson sukses membuat penonton ikut bertanya-tanya sepanjang cerita?

Sedikit latar belakang, Rian Jhonson bukanlah orang baru di urusan komedi atau film kriminal. Tahun 2008, ia menyutradarai "The Brothers Bloom" yang diperankan Rachel Weisz dan Adrien Brody. Ia juga membesut tiga episode drama kriminal di AMC. 

FYI, Rian juga adalah orang di balik film Star Wars: The Last Jedi (2017). 

Sebagai drama komedi detektif, Knives Out tergolong jenis yang berhasil menghibur dan memelihara dialog, alur dengan kejutan. 

Saya kira, kejutan paling komedikal adalah pada bagian ketika Hugh Ransom berusaha menikam Marta Carbera dengan sebilah pisau yang ternyata hanyalah aksesoris. Gerak lambat adegan penusukan yang sempat memelihara ketegangan seketika meledak menjadi tawa.

Atau ketika Benoit menganalogikan kasus kematian Harlan sebagaimana donat yang di dalamnya terdapat donat dan seterus begitu, lalu berkelindan sebegitunya donat-apa-apan ini?! 

Maksud saya, ekspresi komedikal itu tidak semata berasal dari bahasa tubuh. Namun juga ditopang oleh struktur dialog yang tidak nyambung, bertele-tele atau merusak konteks. Di beberapa adegan-yang mulai saya lupa, hihihi-kekuatan narasi rasanya membuat Knives Out termasuk komedi yang berpikir. 

Tapi..

Knives Out bukan saja olok-olok tentang orang kaya dan pertengkaran warisan dalam keluarga Amerika. Ia juga membela keberadaan imigran sebagai kebaikan kecil yang sering dilecehkan.

Pembelaan ini sangat terlihat dari nuansa kedekatan dan percakapan-percakapan di antara mendiang Harlan Thrombey (Christopher Plummer) dengan Marta. 

Marta yang pada mulanya hanyalah perawat paruh waktu yang penuh dedikasi perlahan-lahan menjadi orang terdekat yang menjadi tempat Harlan berbagi keluh kesah sekaligus mengambil keputusan-keputusan sebelum disampaikan. 

Lebih dari itu, ketika Marta merasa telah salah menyuntikan obat yang melebih dosisnya, Harlan justru menjadi "mastermind" yang merancang skenario agar Marta terbebas dari tuduhan. 

Bahkan, Harlan mewasiatkan seluruh kekayaaannya diserahkan untuk Marta seorang.

Hubungan yang saling menyelamatkan antara seorang Amerika yang ditempa disiplin dan pekerja keras dan seorang imigran yang penuh kasih dan dedikasi terasa sekali sebagai pesan bagi "Amerikanisme Garis Kanan" yang lupa pada kontribusi mereka yang "Bukan Amerika". 

Terhadap mereka yang kini diposisikan sebagai sumber masalah.

Selain itu, ada satu momen simbolik di akhir film dimana mereka yang diposisikan sebagai kelas dua dalam masyarakat Amerika justru akan membebaskan diri dar1 situasi ketertindasannya. Bukan karena menempuh jalan adu kuat. Tapi, menuruti Gandhi, melawan tanpa kekerasan! 

Mereka akan memenangkan karena pengabdian yang tulus pada kemanusiaan. 

Momen paling simbolik dari pesan ini adalah ketika Marta Carbrera berdiri di teras lantai dengan, menghirup kopi pada cangkir yang bertulis: RUMAHKU, KOPIKU, ATURANKU. 

Sedang di bawah sana, di lantai tanah halaman, anak-anak Harlan yang sibuk berebut harta bergerombol dengan pikiran yang masih shock. 

Rian Jhonson yang juga bertindak sebagai penulis naskahnya, seperti ingin (sekali lagi) menegaskan bahwa kekalahan kultural yang diderita Amerika terhadap diaspora imigran hanya mungkin menyatakan diri karena kesalahan Amerika sendiri. 

Amerikanisme yang mengalami pembengkakan sudut pandang dalam melihat dirinya sendiri. Amerikanisme yang mengalami amnesia sejarah bersamaan dengan ambisi ganjil mengendalikan tatanan dunia. 

Terus, apakah Knives Out lantas menjadi film politik? Saya kira tidak. 

Sebab, komedi yang baik adalah yang menertawakan politik ketika kebanyakan manusia mendewakannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun