Benoit melihat kasus ini dalam analogi donat: ada tangan yang berusaha menjaga bolongan di tengah tidak memiliki potongannya.
Lalu, kita melihat Benoit yang tampil seolah Hercule Poirot, ketimbang Sherlock Holmes-jika referensi kisah figur detektif kita hanya dua sosok ini.Â
Pelan-pelan, ia menelisik daftar motif, merekonstruksi kronologi kehadiran dan peristiwa, waktu kematian dari penggal-penggal kesaksian mereka yang hadir di malam perayaan ultah.Â
Sesekali ditimpali tingkah konyol rekan kerjanya yang masih sempat memuji karya-karya Harlan di tengah suasana interogasi dan perasaan duka. Atau, reaksi ganjil tubuh Marta yang selalu muntah jika mendengar kebohongan; seolah lie detector.
Apakah, dengan alur dan karakter tokoh seperti ini, sutradara Rian Craig Johnson sukses membuat penonton ikut bertanya-tanya sepanjang cerita?
Sedikit latar belakang, Rian Jhonson bukanlah orang baru di urusan komedi atau film kriminal. Tahun 2008, ia menyutradarai "The Brothers Bloom" yang diperankan Rachel Weisz dan Adrien Brody. Ia juga membesut tiga episode drama kriminal di AMC.Â
FYI, Rian juga adalah orang di balik film Star Wars: The Last Jedi (2017).Â
Sebagai drama komedi detektif, Knives Out tergolong jenis yang berhasil menghibur dan memelihara dialog, alur dengan kejutan.Â
Saya kira, kejutan paling komedikal adalah pada bagian ketika Hugh Ransom berusaha menikam Marta Carbera dengan sebilah pisau yang ternyata hanyalah aksesoris. Gerak lambat adegan penusukan yang sempat memelihara ketegangan seketika meledak menjadi tawa.
Atau ketika Benoit menganalogikan kasus kematian Harlan sebagaimana donat yang di dalamnya terdapat donat dan seterus begitu, lalu berkelindan sebegitunya donat-apa-apan ini?!Â
Maksud saya, ekspresi komedikal itu tidak semata berasal dari bahasa tubuh. Namun juga ditopang oleh struktur dialog yang tidak nyambung, bertele-tele atau merusak konteks. Di beberapa adegan-yang mulai saya lupa, hihihi-kekuatan narasi rasanya membuat Knives Out termasuk komedi yang berpikir.Â