Dengan konsepsi "politik perlawanan" yang seperti ini, Joko Anwar membuat kita begitu dekat dengan Gundala. Begitu familiar dengan maniak seperti Pengkor dan orang-orang berdasi yang menyebut diri wakil rakyat namun melayani kekuasaan yang anti-rakyat.Â
Karena itu, Gundala terlihat begitu akrab: menggambarkan politik sehari-hari di negeri bekas koloni +62 sekaligus menampilkan gambar yang tidak sederhana dari representasi politik yang pelik.
Oleh karena itu juga, barangkali masih membutuhkan intervensi yang tidak cuma Gundala. Apalagi ketika musuh yang dibangkitkan dari masa lalu (Jawa) oleh Ghazul sudah memroklamirkan perang.
Etapi, yang masih jadi pertanyaan saya, mengapa ibu Sancaka tidak ke Barat atau Timur, Utara, atau Selatan tapi Tenggara? Ada apa di Tenggara sana?
***
Gundala: Working Class Superhero Is Something To Be! adalah ulasan tentang film Gundala yang juga saya pertimbangkan sebelum menulis catatan ini. Ulasan yang dikerjakan Faisal Irfan itu bisa dibaca di Tirto.