Dalam versi yang digarap Chistopher Nolan hingga Trilogi, Bruce Wayne memang dilukiskan sarat dengan trauma, rasa sakit dan kemarahan. Tapi dia tetaplah seorang kaya, ganteng, memiliki akses pada teknologi tinggi dan dikelilingi orang kepercayaan yang hebat.Â
Ketika Bane atau Joker berusaha mengajukan anarki (baca: sistem tanpa negara dan oligarki pengaturnya), Batman tampak seperti wakil dari borjuasi yang baik hati dan ingin menyelamatkan dunia. Batman adalah simpul terakhir yang memastikan bahwa Rust en Orde kapitalisme harus tetap ada.
Dengan kata lain, ketika kita membicarakan superhero dan basis representasinya, Gundala adalah subyek yang dilahirkan dari kondisi-kondisi penderitaan kelasnya. Batman tidak, setakterhitung apapun kebaikan-kebaikan sosial yang diwariskan oleh visi dan kekayaan ayahnya.
Gundala hanya tidak mengorganisasi orang-orang kecil ini, tidak mengadopsi jalan Bane dengan membentuk pasukan kecil terlatih dan membebaskan para narapidana yang menjadi sasaran dari Hukum Dent.Â
Lantas, apa konsekuensi dari penglihatan yang memosisikan Gundala dalam kategori-kategori yang terbaca familiar dengan teori-teori perlawanan rakyat; semacam Social Movement Theory ini?
Dalam hemat terbatas saya, posisi Gundala yang memiliki representasi langsung dengan kelas bawah adalah bentuk penegasan lain ketika kita melihat padanan sistem politik yang memelihara dehumanisasi itu. Khususnya dengan keberadaan anggota legislatif yang berada dalam kontrol oligark bernama Pengkor.Â
Pengkor, sebagaimana Sancaka kecil, sama dibentuk dari kondisi-kondisi ekstrem yang berbahaya bagi anak-anak. Bedanya, Pengkor mewarisi kekayaan dari ayahnya yang seorang pengusaha karet.
Pengkor memiliki dendam pada dunia yang merampas kebahagiaannya. Sejak kecil, Pengkor telah terlatih mengorganisasi perlawanan secara kolektif. Pengkor, sebenarnya, jauh lebih baik dari Gundala dalam urusan perlawanan terorganisasi, hehehe.
Dus, kita jadi melihat dua kehendak yang berhadapan di tengah buruknya sistem kuasa. Atau dua kehendak yang berusaha merebut sistem kuasa agar tetap hadir sebagai pelayan kemanusiaan atau sebaliknya, berkuasa dari tumbal-tumbal kemanusiaan. Gundala, sekali lagi, menjadi realistis sekaligus politis.Â
Dengan kata lain, kepahlawanan super milik Gundala, rasa-rasanya, hadir sebagai agency yang ingin mengembalikan kekuasaan dalam mandatnya yang tidak boleh lepas dari pelayanan atas kemanusiaan dan keadilan.
Sebuah cita-cita yang kini tampak seperti absurditas paska-kolonial. Boleh juga dikata untuk sementara ini, Gundala adalah interupsi dari mereka yang tak dihitung oleh demokrasi (dalam istilah Ranciere) yang menggugat kontrol oligarki. Â