"To survive, you must tell stories."
--Umberto Eco, The Island of the Day BeforeÂ
Kecamatan Belang. Terletak di Minahasa Tenggara, salah satu kabupaten muda di propinsi Sulawesi Utara. Kurang lebih dua jam ditempuh melalui perjalanan darat dari Manado, melalui kota Tomohon, Kawangkoan, lalu Langowan.
Ibu kota kabupaten muda yang satu ini adalah Ratahan, terletak agak di ketinggian, berbeda dengan Belang, yang persis berkembang dari pesisir laut.
Tahun 2008, jalan-jalan utama menuju Belang masih sempit dan tak rata.
Tapi kini, walau masih tak rata dan berlubang, jalan-jalan utama itu sudah mulai dibuat agak lebar. Lebarnya jalan itu seolah sengaja dijadikan tanda pembeda dengan wilayah Minahasa Induk, ibu semangnya dahulu ketika belum mekar.
Apakah lebarnya jalan menandakan juga kalo Belang sedang tumbuh secara ekonomi dan sosial sebagai kecamatan bermasa depan cerah?
Apalagi, Belang adalah wilayah yang terhubung dengan basis industri ekstraktif (: emas) Ratatotok dimana Amerika turut menanam sahamnya. Mengingat gerak tumbuh ekonomi selalu mesti dikondisikan dengan gerak perluasan infrastruktur, sebagaimana pembuatan jalan raya pos penyambung Anyer-Panarukan di zaman Deandels dahulu?
Terlalu dini untuk mengatakan iya, Belang sedang tumbuh secara ekonomi dan sosial menjadi bendar besar.
Lalu, apa yang perlu dikenang dari tempat bernama Belang ini?
Belang adalah sebuah bendar, sebuah desa perikanan. Persisnya, desa pelabuhan yang memiliki lokasi Pelelangan Ikan. Pelelangan Ikan itu terletak di desa Borgo. Di sini, menurut cerita orang-orang tua kampung, ikan Tuna (Thunnini) dan Cakalang (Katsuwonus pelamis) saban saat diproduksi lalu didistribusi ke Amurang (Minahasa Selatan), kota Manado hingga kotamadya Bitung di arah Timur Laut.
Saya tak tahu persis, berapa ton sehari hasil tangkapan itu dimuat dan dikirim keluar Belang. Yang saya tahu, banyak mobil pengangkut ikan, berjenis mini open cup yang sejak subuh sudah sibuk bergerak. Singkat kata, Belang adalah basis produksi perikanan tangkap yang turut menyangga kebutuhan konsumsi ikan Sulawesi Utara.
Ada juga satu tempat yang memproduksi ikan. Selain Belang.
Desa itu bernama Molompar. Bedanya, di Molompar, bukan Cakalang atau Tuna yang ditarik dari jala nelayan tradisional. Bukan jenis dua ikan yang digemari masyarakat Jepang itu, apalagi Tuna, jenis ikan yang sudah dikembangbiakan Jepang lewat dukungan ilmu pengetahuan hampir tiga dasawarsa lamanya.
Di Molompar, ikan Malalugis (Decapterus macarellus) adalah primadona, begitu kata seorang bapak.
(Yang mau saya bilang), ada jejak pengolahan sumberdaya perikanan disini yang terus bertahan di tengah lemahnya daya dukung kebijakan kelautan nasional. Sepintas tatap mata, Belang belum lagi berkembang menjadi kawasan industri perikanan.
Hal mana berbeda dengan yang saya jumpai di Tilamuta, kabupaten Boalemo, Propinsi Gorontalo, yang sudah mulai mengembangkan model kompleks perikanan.Â
Belang mungkin belum memenuhi syarat kelayakan atau mungkin karena politik pembangunan yang terus memaksa daerah ini sebatas penyedia raw material's bagi kebutuhan sistem yang lebih besar; sistem yang memaksa kesempatan naik kelas.
Entahlah.
Hal kedua, sebagaimana karakter wilayah pesisir laut, Belang juga merupakan "wilayah terbuka". Terbuka bukan saja sebagai tujuan pencaharian ekonomi (hasil laut), tetapi juga menjadi rumah jumpa dari banyak anak suku bangsa di sini.
Saya melihat 'kemajemukan mini' itu tidak dalam laporan statistik pemerintah kabupaten. Tetapi, ketika membaca papan pengumuman di sebuah mesjid saat salat Tarawih, dimana di papan putih itu tertulis nama-nama keluarga dengan bermacam-macam marga, bukan hanya dari sekitar kekerabatan Minahasa.
Tetapi juga dari Bolaang Mongondow, Gorontalo, hingga Bugis-Makassar. Banyak juga keluarga yang asal-usul leluhurnya datang dari arah Maluku Utara. Kebanyakan mereka adalah nelayan yang kemudian memilih menetap di sekitar pesisir lautnya.
Hal lain yang kiranya juga menjadi kekayaan kultural adalah dialek 'Melayu-Belang', yang terdengar beda di telinga dengan 'Melayu-Minahasa atau Melayu-Mongondow'. Dengan kata lain, perjumpaan, perkawinan dan etos ekonomi menjadi pengikat yang menyatukan mereka sebagai warga Belang.
Dialek menambah daftar 'berbeda' secara kultural juga teritorial dalam satu bentang hidup.
Faktor ketiga, yang juga perlu disimak menurut subyektifitas saya adalah sejarah agama. Khususnya kedatangan Islam di tempat ini.
Dalam catatan Basri Amin (Sejarah Islam di Utara Sulawesi), di bilangan tahun 1590, di tanah Belang sudah datang seorang Sayyid bernama Abdul Wahid Rais, yang membawa Islam ke tempat ini, melalui jalur Ternate.
Beliau boleh dikata datang di bilangan tahun dimana perniagaan maritim mulai marak berlangsung, saat mana itu dimulai dengan perburuan rempah-rempah ke arah Maluku oleh bangsa-bangsa dari negeri di atas angin sana. Karena itu, perlahan-lahan, dalam kesimpulan Anthony Reid (1999), bilangan tahun 1460 hingga 1600-an, Asia Tenggara mengalami zaman ledakan perdagangan (the Age of Commerce).
Dalam spektrum sejarah makro seperti itu, Abdul Wahid Rais adalah satu yang datang melalui jalur laut, berdagang lalu menyebarkan Islam. Hanya saja, keterangan sejarah yang cukup tentang orang ini masih jauh dari tersedia. Konon, kuburnya terletak di pulau yang terletak dihadapan desa Borgo. Sayang sekali saya belum sempat berziarah untuk memastikan kebenaran kubur itu milik siapa.
Paling akhir, daerah ini makin menarik bagi orang-orang yang doyan berjalan, menjadi pengelana kawasan.
Dalam sebuah jumpa yang tak disengaja, saya bisa bercakap dengan seorang bapak yang punya sejarah melaut internasional. Sejak tahun 1980, bapak kenalan baru saya ini, sudah ikut mencari ikan hingga ke Cape Town (Afrika), lalu setahun turut serta ke Hawaii, terus berpindah hingga ke Spanyol.
Ia turut ikut serta memburu Tuna hingga ke manca negara. Lalu, di masa senjanya, memilih berdiam di Molompar sebagai nelayan kecil. Pastinya, ada banyak nelayan disini, yang terus memacu hidup dengan 'mengendalikan laut' di tengah struktur pemiskinan pesisir yang kompleks.
Last but not least, keluarga-keluarga di sini pun menyambut tamu (: perantau) dengan baik. "Kalo Lebaran, pasiar ulang kamari neh," begitu kata seorang ibu kepada saya. Kalau Lebaran, datang lagi.
Sebab itu, selalu ada rindu untuk kembali dalam peluk ramah mereka.
***
Pada 3 September 2010 atau sekitar 9 tahun yang lalu, saya pernah menulis catatan perjalanan seperti di atas itu. Saya senang saja karena tulisan sederhana ini, yang berusaha melihat beberapa "kekuatan pembentuk" sebuah lokus budaya masih terarsip di Facebook. Terima kasih digitalisme.
Belang sekarang tentu saja telah banyak berubah. Mungkin lebih bergeliat dengan hasil lautnya yang ikut menyangga kebutuhan konsumsi ikan di Sulawesi Utara, khususnya sekitaran Manado dan Bitung yang memiliki pabrik-pabrik pengolahan ikan.Â
Mungkin saja, Belang telah memoles dirinya sebagai salah satu destinasi baru wisata alam, sebagai salah satu yang menjadi alternatif bagi wisatawan yang bosan dengan suasana Manado dan Tomohon.Â
Atau Belang mungkin masih tidak banyak diceritakan, selain bagi mereka yang lahir dan hidup di sana.Â
Tapi, barangkali yang bisa dikenang-kenangkan adalah bahwa menulis tentang tempat yang tak banyak dikenal selalu memiliki pada satu masa yang jauh mengingatkan betapa pendek sebuah perjalanan pernah dilakukan dan terlalu sedikit yang seringkali bisa dituliskan.Â
Tidak banyak yang sungguh-sungguh ingin diabadikan sebagai buah dari perjumpaan pikiran, cerita, pengalaman orang-orang dan pada akhirnya bagaimana ingatan menyediakan dirinya untuk menampung semuanya.
Kapan terakhir kamu pergi ke tempat atau lokasi budaya yang tidak banyak ditulis?
Ehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H