Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belang, Catatan tentang Sebuah Bendar

6 September 2019   10:12 Diperbarui: 6 September 2019   11:18 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal lain yang kiranya juga menjadi kekayaan kultural adalah dialek 'Melayu-Belang', yang terdengar beda di telinga dengan 'Melayu-Minahasa atau Melayu-Mongondow'. Dengan kata lain, perjumpaan, perkawinan dan etos ekonomi menjadi pengikat yang menyatukan mereka sebagai warga Belang.

Dialek menambah daftar 'berbeda' secara kultural juga teritorial dalam satu bentang hidup.

Faktor ketiga, yang juga perlu disimak menurut subyektifitas saya adalah sejarah agama. Khususnya kedatangan Islam di tempat ini.

Dalam catatan Basri Amin (Sejarah Islam di Utara Sulawesi), di bilangan tahun 1590, di tanah Belang sudah datang seorang Sayyid bernama Abdul Wahid Rais, yang membawa Islam ke tempat ini, melalui jalur Ternate.

Beliau boleh dikata datang di bilangan tahun dimana perniagaan maritim mulai marak berlangsung, saat mana itu dimulai dengan perburuan rempah-rempah ke arah Maluku oleh bangsa-bangsa dari negeri di atas angin sana. Karena itu, perlahan-lahan, dalam kesimpulan Anthony Reid (1999), bilangan tahun 1460 hingga 1600-an, Asia Tenggara mengalami zaman ledakan perdagangan (the Age of Commerce).

Dalam spektrum sejarah makro seperti itu, Abdul Wahid Rais adalah satu yang datang melalui jalur laut, berdagang lalu menyebarkan Islam. Hanya saja, keterangan sejarah yang cukup tentang orang ini masih jauh dari tersedia. Konon, kuburnya terletak di pulau yang terletak dihadapan desa Borgo. Sayang sekali saya belum sempat berziarah untuk memastikan kebenaran kubur itu milik siapa.

Paling akhir, daerah ini makin menarik bagi orang-orang yang doyan berjalan, menjadi pengelana kawasan.

Dalam sebuah jumpa yang tak disengaja, saya bisa bercakap dengan seorang bapak yang punya sejarah melaut internasional. Sejak tahun 1980, bapak kenalan baru saya ini, sudah ikut mencari ikan hingga ke Cape Town (Afrika), lalu setahun turut serta ke Hawaii, terus berpindah hingga ke Spanyol.

Ia turut ikut serta memburu Tuna hingga ke manca negara. Lalu, di masa senjanya, memilih berdiam di Molompar sebagai nelayan kecil. Pastinya, ada banyak nelayan disini, yang terus memacu hidup dengan 'mengendalikan laut' di tengah struktur pemiskinan pesisir yang kompleks.

Last but not least, keluarga-keluarga di sini pun menyambut tamu (: perantau) dengan baik. "Kalo Lebaran, pasiar ulang kamari neh," begitu kata seorang ibu kepada saya. Kalau Lebaran, datang lagi.

Sebab itu, selalu ada rindu untuk kembali dalam peluk ramah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun