Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belang, Catatan tentang Sebuah Bendar

6 September 2019   10:12 Diperbarui: 6 September 2019   11:18 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak tahu persis, berapa ton sehari hasil tangkapan itu dimuat dan dikirim keluar Belang. Yang saya tahu, banyak mobil pengangkut ikan, berjenis mini open cup yang sejak subuh sudah sibuk bergerak. Singkat kata, Belang adalah basis produksi perikanan tangkap yang turut menyangga kebutuhan konsumsi ikan Sulawesi Utara.

Ada juga satu tempat yang memproduksi ikan. Selain Belang.

Desa itu bernama Molompar. Bedanya, di Molompar, bukan Cakalang atau Tuna yang ditarik dari jala nelayan tradisional. Bukan jenis dua ikan yang digemari masyarakat Jepang itu, apalagi Tuna, jenis ikan yang sudah dikembangbiakan Jepang lewat dukungan ilmu pengetahuan hampir tiga dasawarsa lamanya.

Di Molompar, ikan Malalugis (Decapterus macarellus) adalah primadona, begitu kata seorang bapak.

(Yang mau saya bilang), ada jejak pengolahan sumberdaya perikanan disini yang terus bertahan di tengah lemahnya daya dukung kebijakan kelautan nasional. Sepintas tatap mata, Belang belum lagi berkembang menjadi kawasan industri perikanan.

Hal mana berbeda dengan yang saya jumpai di Tilamuta, kabupaten Boalemo, Propinsi Gorontalo, yang sudah mulai mengembangkan model kompleks perikanan. 

Belang mungkin belum memenuhi syarat kelayakan atau mungkin karena politik pembangunan yang terus memaksa daerah ini sebatas penyedia raw material's bagi kebutuhan sistem yang lebih besar; sistem yang memaksa kesempatan naik kelas.

Entahlah.

Hal kedua, sebagaimana karakter wilayah pesisir laut, Belang juga merupakan "wilayah terbuka". Terbuka bukan saja sebagai tujuan pencaharian ekonomi (hasil laut), tetapi juga menjadi rumah jumpa dari banyak anak suku bangsa di sini.

Saya melihat 'kemajemukan mini' itu tidak dalam laporan statistik pemerintah kabupaten. Tetapi, ketika membaca papan pengumuman di sebuah mesjid saat salat Tarawih, dimana di papan putih itu tertulis nama-nama keluarga dengan bermacam-macam marga, bukan hanya dari sekitar kekerabatan Minahasa.

Tetapi juga dari Bolaang Mongondow, Gorontalo, hingga Bugis-Makassar. Banyak juga keluarga yang asal-usul leluhurnya datang dari arah Maluku Utara. Kebanyakan mereka adalah nelayan yang kemudian memilih menetap di sekitar pesisir lautnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun