Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Bumi Manusia" dalam Tiga Perempuan

15 Agustus 2019   22:24 Diperbarui: 17 Agustus 2019   10:43 3071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Bumi Manusia | The Jakarta Post

"Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. 

Waktu sudah masuk pukul 13.50 WIB. 

Saya memastikan lagi jadwal tayang. Tertera pukul 14.35 WIB, Bumi Manusia akan tayang di layar bioskop XXI. Dengan jasa antar daring, saya berangkat. Saya memang ingin menjadi bagian di barisan depan yang menyaksikan novel Mbah Pramoedya diadaptasi ke dalam medium sinematik. 

Tiba di depan loket pemesan, saya memilih tempat duduk di 17C yang terletak di deret paling kanan. Banyak kursi masih kosong walau ada sedikit konsentrasi penonton di bagian tengah.  Pun ketika saya memilih lebih dulu masuk ke ruangan bioskop. Sampai film dimulai, tak banyak anak manusia berdatangan. 

Sedikit yang datang itu rombongan remaja dan muda-mudi. Saya curiga berumur SMA dan masih kuliah di semester-semester awal. Sepi. 

Ada tiga spekulasi yang mendadak terbit di kepala saya. Orang tidak mengenal bagaimana Hanung Bramantyo mengerjakan film, Iqbaal Ramadhan alias Dilan tidak punya banyak fans di kota ini dan, yang paling dicemaskan banyak pemuja tetralogi Pulau Buru ketika rencana novel ini difilmkan memantik polemik: karya-karya Pram tidak akrab di selera kekinian.

Tapi, untuk apa berlarut dengan itu semua? 

Sebagai pembaca karya Mbah Pram yang tak tuntas, nontonlah saja. 

Hadirkan dunia yang pra-konsepi di kepala lantas tenggelamlah ke dalamnya. Saya bahkan tidak menuruti rencana untuk membaca ulang Bumi Manusia yang saya baca pertama kali sesudah Soeharto tumbang sebelum menuliskan catatan ringkas ini.  

Penonton Bumi Manusia serempak berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya bersama | Dok. Pribadi.
Penonton Bumi Manusia serempak berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya bersama | Dok. Pribadi.
Indonesia Raya, merdeka, merdeka. Tanahku, negeriku yang kucinta...

Bumi Manusia dimulai dengan lagu Indonesia Raya dan ajakan untuk berdiri dan bernyanyi. Semua orang berdiri bernyanyi. Ada perasaan aneh yang menyergap tapi sebentar saja. Saya terus larut dan merasa atmosfir patriotik memenuhi seluruh ruangan yang tak penuh. Ini bulan delapan, dua hari sebelum tanggal tujuh belas.

Suara serak Iwan Fals yang menyanyikan kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati menambah tebal atmosfir itu. 

Sebuah "pengkondisian" yang mulus, saya kira. Memilih tayang di bulan kemerdekaan adalah opsi yang jitu untuk menyampaikan Bumi Manusia ke masyarakat gawai. Masyarakat yang perlu tahu asal-usul kesadaran kosmopolitan Minke di tanah koloni Hindia Belanda. 

Riwayat Minke, penerus trah priyayi Jawa dengan pergulatan di hadapan fase pertama kapitalisme merkantilis ke negeri-negeri di Timur Jauh. 

Saya kini masuk ke dalam film. 

Pertama-tama adalah menikmati panorama zaman kolonial. Orang-orang, pakaian serta percakapan-percakapan yang bercampur antara bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia. Ada Belanda, Priyayi dan Jelata. Bumi Manusia yang masih menegakkan batas-batas rasial dan kontrol yang menegaskan hirarki antara tuan penjajah, kaki tangannya dan  manusia pribumi yang hidup sederhana.  Saya dapat auranya.

Seterusnya, dalam konteks karakter tokoh, saya melihat Minke yang sesekali mereproduksi bahasa tubuh Dilan. Sebagian besarnya saya kira harus takjub di depan Annelies dan ibunya yang kali ini sukses memancarkan "kualitas diri". Annelies yang lembut lagi rapuh serta Nyai Ontosoroh yang ayu dan tegas. Karakter mereka hidup dalam diri Mawar Eva de Jongh dan Sha Ine Febriyanti.

Tapi tak cuma itu. 

Ibunda Mike adalah karakter yang tidak bisa diabaikan walaupun alur bukan bagian dari poros konflik. Saya bukan saja terdiam manakala Minke dan ibunya berdialog sesudah kepulangan Minke menjelang pengangkatan ayahnya menjadi bupati.  Ibu yang berpesan agar Minke tetaplah menjadi seorang Jawa yang fasih sedalam apapun dia mengalami Barat sebagai arus peradaban modern. Kira-kira begini kalau kita bahasakan dalam terminologi antropologi. 

Saya hampir meleleh, hiiks. Ayu Laksmi berhasil menjadi ibu Minke yang lembut dan penuh kasih sayang. Ibu yang di balik kuasa ningrat nan feodal, memiliki pikiran yang lebih berani mengalami resiko-resiko dari modernisasi. Kasih sayang abadi miliknya tetap melantun doa kebahagiaan bagi anaknya sekalipun pilihan dan jalan sejarah membuatnya tumbuh berbeda dari yang dibayangkan. 

Dan ini bukan hampir meleleh satu-satunya, kawan.

Selanjutnya, ketika ketegangan mulai pecah bersama bermacam-macam motif yang akarnya berakar pada relasi penjajah terjajah, saya kira Hanung termasuk sukses merawat kemarahan dan kesedihan yang mewakili orang-orang yang terpaksa harus kalah. Termasuk kemarahan pribumi yang dilecehkan, seperti ketika Herman Mellema memaki Minke yang disebutnya monyet yang tak pantas berada di meja makan bersama meraka.

Atau ketika, adegan yang paling membuat mendidih adalah saat pengadilan khusus pribumi dimana Minke memulai perlawanan dengan artikel-artikelnya. Persidangan atas kematian Herman Mallema yang diracun. Nyai Ontosoroh harus membuka sendalnya, berjalan jongkok, duduk di lantai dan dilarang berbicara dalam bahasa Belanda. Sedang para hakim dan pembesar birokrasi kolonial duduk di atas kursi dengan angkuhnya. 

Seorang perempuan pribumi gundik yang bekerja untuk menjaga hidupnya dilecehkan oleh persidangan kolonial yang dikendalikan kuasa laki-laki sembari memuja-muja rasionalisme dan kemanusiaan sebagai poros dari kehidupan modern itu sendiri.

Sama kejadiannya saat persidangan yang menetapkan status Annelies. Persidangan yang merampas Annelies dari Minke. 

Tuan-tuan Belanda kolonial itu duduk di atas kursi yang nyaman dan Nyai Ontosoroh harus bersuara dari lantai. Tak ada ruang bagi negoisasi apalagi keadilan, hukum Belanda atas tanah koloni adalah mutlak dan berlaku untuk menjaga kemurnian rasialnya. 

Di sini, sekali lagi, kita melihat ibu atau perempuan yang berjuang merebut hak dan martabatnya. 


Ibu, ibu, ibumu!

Minke memang dilukiskan murid Barat yang kritis, memiliki nyali melawan dengan mesin tik dan artikel-artikelnya yang mengguncang alam kesadaran tuan kolonial dan jelata terjajah. Tak sampai di situ, tulisan-tulisan itu sukses memobilisasi perlawanan saat Minke dan Nyai Ontosoroh berusaha menyelamatkan Annelies. Minke yang priyayi memang cukup terlihat sebagai "persilangan radikal dari feodalisme Jawa dan arus awal modernisasi". 

Tapi, bagi saya, Bumi Manusia ditangan Hanung dan Salman Aristo (penulis naskah) bukan tentang bagaimana intelektualisme Minke yang progresif itu berkembang dari benturan-benturan antara tradisi dan modernitas. Walau terasa dalam kadar yang background, ini juga bukan pula tentang kritik terhadap narasi-narasi absurd perihal kemurnian pribumi dan privilise yang harus dimilikinya, seperti jamak hidup dalam politik identitas. 

Benar bahwa di bagian terakhir, ada scene yang menghadirkan ketegangan antara hukum Islam dan hukum Belanda terkait status Annelies sebagai istri sah Minke, itu kemudian bermutasi menjadi pertarungan antara kuasa penjajah dan perlawanan pribumi. Ada transformasi kesadaran dari kontra-posisi yang agama versus yang sekuler kepada yang menindas dan tertindas. Tapi, rasa-rasanya, ini hanya panggung dari tiga dunia yang menjadi porosnya.     

Karena itu, bagi saya, ini film tentang Bumi Manusia yang dijaga oleh perempuan-perempuan luar biasa. Nyai Ontosoroh, ibunda Minke dan Annelies. Film tentang tiga perlawanan yang memberi jejak sangat kuat dalam biografi Minke alias Tirto Adhi Soerjo.

Pertama, perempuan pribumi gundik yang harus menjaga segala yang diperjuangkannya dirampas tangan-tangan bengis penjajah. Kedua, perempuan ningrat yang merelakan anak lelakinya menempuh nasib yang dipilihnya, nasib yang menentang keningratan itu sendiri serta ketiga, perempuan muda yang merupakan hasil persilangan rasial, dengan trauma yang tekanan-tekanan yang ditanggungnya sejak muda. 

Minke tumbuh dan belajar dari kasih sayang mereka. 

Merintis perlawanan dengan tinta dan kata-kata karena membela martabat dan kasih sayang mereka dengan segenap kesadarannya yang percaya pada kemanusiaan yang setara sebagai syarat dari adanya Bumi Manusia yang sewajibnya diperjuangkan bersama-sama. 

Jadi, ini adalah film yang berhasil merawat emosi sembari mengingatkan pada kata-kata Mbah Pramoedya: "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana".  

Terus, kamu kok masih belum ke bioskop juga?

***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun