Orang merdeka tanpa cinta adalah sebuah petaka.
John Wick-Parabellum yang menyingkirkan heboh dari pencapaian Avengers: Endgame adalah sejenis sukses besar.Â
Bukan karena unggul di bioskop Amerika dimana dalam minggu pertama debutnya sudah meraup 57 juta dolar AS. Sedang Avengers: Endgame hanya bisa mendapat 29,4 juta dolar AS dalam 4 minggu pertama rilis. Demikian Tirto memberitakannya.
Bukan juga karena manakala kita menengok laman Rotten Tomatoes, film yang disutradarai seorang yang berkarir dari jalur stuntman ini bertengger di posisi pertama untuk kategori TOP BOX OFFICE. Mendapatkan 89% rating dengan pendapatan 56,9 milyar dolar AS. Sedang Avengers: Endgame yang menawarkan cara klise ketika menyudahi riwayatnya sendiri itu berada di posisi kedua dengan angka 30,1 milyar dolar AS walau unggul dalam rating yang 95%.Â
Namun, yang bikin sukses besar itu adalah karena John Wick-Parabellum adalah yang terbaik dari akting Keanu Reeves dalam film pukul-pukulan. Ini tentu saja jika dibandingkan dengan sejarah film Keanu sendiri, khususnya sejak kemunculan Speed (1994), Trilogi The Matrix (1999, 2003), Man of Tai Chi (2013) dan Ronin (2013).Â
Maksud saya, sejak Speed yang membuat potongan rambut "cepak 1 cm" pernah menjadi referensi utama zaman SMA, aktor yang lahir di Libanon ini seperti berakting dengan efek yang datar-datar saja. Tak jarang, memainkan karakter yang membosankan atau sekadar jual tampang yang memelihara ingatan pada hal-hal yang artifisial (tapi ini mungkin lebih baik dari pada skandal, hehehe).Â
Seperti yang dia tampilkan dalam film Siberia, yang bercerita tentang seorang lelaki yang berusaha meloloskan diri dari kejahatan mafia Rusia dan di saat bersamaan menjalani petualangan asmara yang kesemuannya berakhir dengan tragika. Sayang sekali, ide cerita itu tidak bekerja maksimal. Sebaliknya, ia malah menunjukan ketergantungan yang terlalu kepada sosok Keanu Reeves.Â
Saya telah menuliskannya di Cerita "Siberia" dan Tragika yang Gagal.
Sebisa yang saya rekam, Keanu terasa identik dengan film drama romantis. Berbeda dengan Brad Pitt yang relatif seangkatan, misalnya.Â
Brad Pitt terlahir secara sinematik dalam beragam karakter, dari drama romantis (Allied), pembunuh bayaran papan atas (Mr & Mrs. Smith), tokoh yang dilahirkan dari mitologi (sebagai Achilles di Troy) hingga sosok komandan militer yang tragik (Fury) atau ironik (War Machine).
Apakah mantan Angelina Jolie ini lebih jeli memilih dan berani mencoba bermacam karakter? Menurut ngana?
Keanu, hemat saya, tidak seberagam itu. Sebab itu juga, seri ketiga John Wick yang tetap memelihara sadisme ini lebih memiliki efek kejut dalam beberapa hal. Sesuatu yang tidak sebatas pukul-pukulan dan darah.
Pertama, sejak awal memaksa penonton tidak memikirkan hal lain kecuali tersedot ke dalam ketegangan demi ketegangan serta beberapa latar belakang yang belum terbaca di dua seri awal. Suasana ini dibangun dari John Wick yang berusaha meloloskan diri dari sergapan para pembunuh sewaan sesudah kontrak pembunuhan untuknya dibuka (excommunicado).Â
Usaha meloloskan diri yang dikelola koreografi pukul-pukulan ciamik; salah satu yang dipuji dari film ini. Selain mempertahankan keahlian Wick bertarung jarak pendek dengan pistol dan teknik bantingan, kali ini aksi kejar-kejaran dengan kuda dan saling serang di atas motor membuatnya lebih kaya nuansa.
Kedua, perihal masa lalu. Dalam seri ketiga yang berdurasi 131 menit ini, para penulis naskah membangun plot yang memandu penonton menjumpai John Wick yang ternyata adalah seorang Belarusia, yatim piatu, dan dididik oleh kelompok mafia yang memiliki filosofi Seni adalah Penderitaan.Â
Saya terus tahu, John alias Jardin ini memang dilatih menanggung rasa sakit sejak usia anak-anak.Â
Atau, dalam batas tertentu, kemampuan mengelola rasa sakit (lahir dan batin) adalah ekspresi dari laku estetis, melengkapi yang moral atau ideologis. Maka dari itu, penonton jadi bisa mengerti dari mana asal-usul daya tahan tingkat adimanusiawi melewati macam-macam rasa sakit.
Dengan kata lain, mengalami penderitaan adalah jalan memenuhi realisasi diri secara estetis. Maksudnya, menghadirkan penderitaan kepada John sama dengan membuatnya makin sinting dalam memenuhi sisi lain jiwanya yang dibentuk sejak pikiran belum kaya pengertian.Â
Ketiga, percakapan mengenai kehilangan.Â
Ini bukan semata "Duka itu Candu" bagi Wick sebagaimana secara jitu ditunjukan Irma Garnesia dalam artikel yang berjudul John Wick 3: Keanu Masih Brutal, Canggung dan Ogah "Move On". Atau lewat bahasa yang lebih romantik, kehilangan Helen adalah alasan John untuk terus hidup. Demi mengabadikan kenangan mereka.Â
Dalam bahasa yang lain, kematian ditakuti bukan karena kematian itu memisahkan manusia dari dunia; menegaskan yang fana pada eksistensi manusia. Bagi jiwa dengan perasaan cinta sekukuh John, kematian menjadi mengerikan karena itu pintu bagi musnahnya kenangannya atas Helen.Â
Harus ada yang terus hidup untuk menjaga ingatan bertarung melawan jebakan waktu.
Sebab selemah-lemahnya pernyataan cinta adalah mereka yang lekas-lekas merelakan kenangan itu perlahan terlupakan bersamaan dengan datangnya waktu, peristiwa dan orang-orang. Wahai!
Keempat, kesetiaan dan pelayanan. Dua etis ini adalah fundamen bagi kelompok yang hidup dari kekerasan ke kekerasan. Sebagaimana prinsip Vendetta dan Omerta dalam masyarakat mafia Italia. Tanpa itu, mereka bukan saja tak akan bertahan lama, mereka bahkan sulit dibayangkan mengada.Â
Dalam John Wick-Parabellum, kesetiaan dan pelayanan juga sekilas ditampilkan bertingkat dan rahasia, semacam organisasi Spectre di James Bond. Termasuk bagaimana ia bekerja mengendalikan sebuah kota, memberi batas pada kuasa yang tumbuh di dalamnya. Misalnya dengan memposisikan hotel Continental sebagai area netral: tidak boleh berbisnis di dalamnya. Tidak ada yang baru.
Yang sedikit terasa menggelitik, ketika John memotong jari manis dimana cincin perkawinannya berdiam di sana sebagai perlambang sumpah setianya pada High Table (yang tuan tertingginya justru berdiam di gurun gersang!), yang tampil di mata saya justru sebuah kode pemberontakan. Memotong jari yang seperti itu, terlebih jari manis dimana kenangan Helen menyimbolkan dirinya di sana, lebih mirip sebagai pesan akan kedukaan yang abadi.Â
Sebagaimana bentuk ungkapan duka masyarakat suku Dani di pegunungan Papua.
Dengan begitu, yang sedang terjadi adalah sebuah penegasan bahwa hidup dalam menanggung penderitaan karena kematian Helen kini akan diabdikan melawan kelompok mafia terkuat. Jadi, John melakukan aksi menyiksa diri seperti itu untuk menegaskan bentuk tertinggi dari Seni adalah Penderitaan. Sehingga bisa dimengerti, mengapa sikapnya segera berbalik arah di depan Adjudicator. Bukan karena argumentasi Winston yang menolak pensiun.Â
Kelima, imajinasi sesudah Parabellum.
John Wick 4 akan dirilis 2021, begitu kabarnya. Dari akhir yang menampilkan adegan John Wick yang marah dan merasa dikhianati Winston bergabung dengan Bowery King, bos jejaring pemulung yang juga menolak tunduk pada High Table. John Wick akan kembali dengan perlawanan dari bawah tanah.
John Wick akan muncul dengan target merontokan High Table, bukan sekadar Winston yang selalu cerdik mengail di air keruh. Sofia yang sukses tampil sebagai perempuan dengan kemampuan menanggung penderitaan di akting Halle Berry kemungkinan akan bergabung. Mungkin akan tampil seperti Bane, yang memulai perlawanan terhadap kuasa Batman dengan membangun basis di terowongan bawah tanah.
Maksud saya, apakah John Wick akan menampilkan perang kota yang mengurangi watak petarung tunggal serba sakti tak terkalahkan?Â
Melampaui ini, John Wick 4 semoga akan tampil sebagai film kolosal dengan adegan perang kota yang penuh adu strategi. Bukan saja brutal dan banjir darah dimana-mana. Bukan saja tentang seorang Keanu Reeves yang berjuang melahirkan dirinya yang lain dalam medium sinematik.
Ini pengharapan saya.Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H