Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Avengers: Endgame", Cara Klise Menyudahi Riwayat

3 Mei 2019   09:07 Diperbarui: 3 Mei 2019   09:52 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Thanos memang sejak awal adalah pemilik sejarah kalah. 

Thanos akhirnya memilih berkebun sesudah menuntaskan takdir mengembalikan keseimbangan populasi. Seperti seorang pensiunan saja. Ia tampak lelah dan tidak memiliki perencanaan apa-apa.

Sosok yang berasal dari Titan ini memang awam dengan konsep kolaborasi. Paska-Infinity War yang massif dan brutal di bumi, Thanos makin terbaca payah dan kesepian. Ketika dirinya ditemukan sedang berada dalam sebuah gubuk kayu, kapak Thor tidak membutuhkan adu kesaktian terlalu lama demi sekadar memenggalnya.

Kapak Thor yang memisahkan kepala Thanos adalah pembuktian sederhana bahwa dalam karakter seperti ini, hidup egoisme perusak dengan visi yang sepintas mesianik: menyelamatkan kehidupan dari tekanan populasi dan de-ekologisasi. Padahal, seiring dengan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya, semuanya akan tampak sebagai daftar omong kosong belaka.

Mengapa bisa?

Sejak awal, Thanos memang telah menumbalkan kasih sayang dalam dirinya. Dia menumbalkan Gamora dan Nebula. Dia tidak memiliki visi bagaimana dunia dipulihkan dengan cinta, kerjasama dan perdamaian. Kemajuan sains dan teknologi, di tangannya, benar-benar tampil sebagai pemuas dari kepentingan kontrol atas alam dan populasi.

Ini problem pertama dari kehendak Thanos memulihkan dunia. 

Sejarah kebangkitan memang sering didorong oleh ancaman pemusnahan tapi Thanos "Si Pengendali Batu" lupa bahwa selalu ada "Creative Minority" bersama sekumpulan Silent Majority yang bertahan melewati setiap ongkos dari usaha menuju kebangkitan baru. Silent Majority: orang-orang kecil di tengah krisis dan perubahan besar. 

Maka simpulkan saja Thanos, kehendak yang sakit dengan pikiran yang berbahaya!

Tetapi, bumi terlanjur rusak, hanya dihuni segelintir manusia, ngapain membicarakan Thanos? Hidup adalah soal di sini dan kini, mylop!

Di sini masalahnya Avengers: Endgame yang menghabiskan tiga jam di depan layar bioskop. Yang menuntun penonton masuk ke sketsa-sketsa psikis dari mereka yang kehilangan (sadarilah bahwa superhero juga tersedu-sedu, wahai Esmeralda!). Kental dengan narasi tentang jiwa-jiwa patah, diremuk rasa bersalah karena gagal menyelamatkan kehidupan.  

Jiwa-jiwa yang terpuruk ke dalam rasa sakit sekaligus ketakberdayaan. 

Lantas segalanya menjadi romantik dan satu-satunya solusi hanyalah memulihkan masa lalu; semacam aksi Back to the Future!

So, kalian yang penasaran dengan cara menyelesaikan takdir Thanos, segera saja tahu jika urusan di depan mata adalah kembali ke masa lalu, ke lima tahun di belakang. Bagaimana agar kehidupan sebelum maniak perusak datang bisa dipulihkan di masa kini tanpa harus menempuh jalan menjadi kelinci: beranak sebanyak-banyak yang bisa. 

Selanjutnya, ya apalagi kalau bukan ngumpulin Infinity Stones itu? Terus? 

Ketegangan yang muncul dalam perburuan batu-batu sakti itu. Terutama dengan pengorbanan diri Natasha serta Thanos yang mengetahui sedang disabotase. Walhasil, pemulihan sejarah atau dalam bahasa Tony Stark, versi Normal dari kehidupan bumi, mendaur ulang perang puputan yang kali ini melibatkan kapten Marvel, si penjelajah galaksi. 

Sesudah kekalahan yang mengenaskan, pasukan Avengers kini berhadapan dengan pertaruhan besar terakhirnya. Jika gagal kembali ke masa lampau, mereka bukan saja mengacak alur sejarah. Mereka sangat mungkin membuka lembaran baru narasi sejarah. Narasi yang mungkin tidak bisa dicandrai dengan sistem pengetahuan yang ada. 

Artinya, kesalahan dari aksi Back to the Future! itu berpotensi mendorong kemungkinan-kemungkinan yang tidak pernah diketahui. Singkat kata, dalam terma yang sedang populer, Homo Sapiens kini tengah bermutasi ke dalam pemenuhan diri Homo Deus. Wiih.


Kita akhirnya kembali tiba pada cerita yang begitu-begitu saja. 

Perang penghabisan tercipta sesudah tindak kontra-intelijen Thanos dengan menugaskan Nebula versi masa lalu ke dalam rombongan Avengers (terlalu mudah) berhasil. Saat yang sama, Hulk sudah duluan menjentikkan jari pada sarung tangan bertenaga lima batu keabadian. Para pejuang yang pernah takluk dalam Infinity War segera kembali dari kematian. Mulai dari Black Panther sampai Peter Parker. Dari prajurit Asgard hingga Wanda yang membawa amarah tiada ampun. 

Thanos jelas berada di depan kekalahan. Bukan saja karena Avengers mengembalikan kemenangan bagi bumi-karena inilah alasan mereka diciptakan sebagai fiksi sekaligus "tipe ideal"-namun juga pada partai revans ini, dia berhadapan dengan lawan yang telah mengalami konsekuensi dari daya rusak batu sakti di masa depan. 

Kekuatan besar dan teknologi perang canggih yang memenangkannya kini berhadapan dengan "Creative Minority" yang sukses merapatkan barisan, keyakinan dan keberanian berkorban.

Avengers kembali menang, bumi dipulihkan. Tony "Iron Man" Stark dan Natasha adalah harga yang harus dikorbankan. Sejarah manusia akhirnya kembali ditulis manusia. Bukan sebagai catatan kaki (kelam) dari riwayat penaklukan dari Titan.

Lantas, kenapa di dunia luar bioskop, film ini bisa sedemikian heboh? Memecahkan rekor yang bikin sakit hati para pemuja superhero DC Comics, huhuhu?

Saya sendiri juga tiada mengerti, sama tidak mengertinya mengapa Infinity War (dan Hal-hal yang Berulang) secara terbalik justru menampilkan kesan: 

...ketika manusia Barat mengalami perluasan rasionalisasi yang mendekati total, memimpin dunia dalam ukuran-ukuran terdepan teknologisasi kehidupan, memondialisasi nilai-nilai yang disebut sebagai jalan kemajuan universal, Infinity War hanyalah potret dari "pertempuran tiada ujung" antara Barat dengan sisi sunyi dirinya yang tumbuh berkecamuk dalam kehampaan yang haqiqi(?) 

Kali ini, pada Avengers: Endgame, agak sulit menemukan sensasi yang berbeda, baik dalam visual, alur kisah hingga ide dasar yang menyatukan keseluruhan narasi selain bahwa anak manusia sedang berusaha menegakkan kembali daulatnya atas sejarah bumi. 

Sejenis kisah menolak takluk di kaki kekuataan asing yang meyakini nilai tunggal jika keberlanjutan kehidupan hanya terjaga melalui keseimbangan populasi. 

Dan, satu-satunya jalan menciptakan keseimbangan itu adalah dengan pemusnahan massal ras manusia. 

Endgame belum menawarkan pengalaman baru dalam menjelajahi narasi perihal superhero. Belum mengajak pada sisi-sisi yang tidak terbayangkan sebelumnya, atau, justru memberi pesan yang sebaliknya perihal anti-superhero. Bahkan ketika Iron Man harus tewas karena pengorbanan dirinya, kita sudah tahu bahwa hal itu pada akhirnya akan jadi biasa saja.

Tidak ada yang perlu dipercakapkan lagi. Itu mungkin sebaik-baiknya menyudahi (baca: Endgame!). 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun