Film The Professor and the Mad Man (Mei, 2019) yang mempertemukan akting Mel Gibson (James Murray) dan Sean Penn (William Minor), bagi saya, cukup menghadirkan kesan yang baik.Â
Kesan itu, terutama sekali, tentang rekonstruksi atas sosok William yang bertarung melawan rasa bersalah dari masa perang. Tekanan rasa bersalah yang menjadi tumbukan bagi pelahiran delusi. Di kepala William, melupakan bukan saja kemustahilan. Lebih dari itu, kesadarannya serasa hanya hidup dalam labirin  yang porosnya adalah kesalahan masa lalu.
Bahkan ketika sang janda hadir dengan kasih sayang yang mulai pelan-pelan membebaskan diri dari labirin itu, William tetap tidak bisa memilih jalan kebahagiaan di penghujung hidupnya. Tidak lagi ada cukup waktu bagi cinta perempuan yang bisa memulihkan, sepertinya begitu. Walau begitu, minatnya yang kuat akan pengetahuan dalam urusan "menemukan kata-kata" sejatinya adalah energi besar yang mampu berdiri dan melawan serangan delusi yang membuatnya tak terkontrol dan cenderung menyakiti diri sendiri.Â
Ini sama mengatakan jika sumbangsih luar biasa William dalam proyek kamus Oxford di periode awal adalah bentuk perlawanan diri terhadap penderitaan mental sendiri.
Heroik sekaligus tragik! Sebuah manifestasi perlawanan yang akbar.
Saya harus mengakui bahwa (lagi-lagi) Sean Penn membuat sosok William Minor yang menimbun rasa sakit luar biasa dalam tubuh sepuhnya itu tampil alamiah bersamaan akting Mel Gibson yang cukup sukses menambah nuansa drama biografi. Kombinasi yang mendapat rating 7,5 di IMdb.
Dan, rasanya sejarah selalu akan bercerita, di balik peristiwa besar, selalu ada komitmen manusia yang bertarung melawan tendensi-tendensi perusak dirinya sendiri. Â
Sejarah patah tumbuh anak manusia. Â Â Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H