Phiona Mutesi, anak perempuan yang tumbuh dalam lingkungan kumuh (Slums Area) di Katwe, Uganda.Â
Sejak umur tiga tahun, ia sudah harus menjadi yatim. Ayahnya meninggal karena AIDS. Ibunya, Nakku Harriet harus menjadi penyangga daya tahan keluarga seorang diri. Karena kemiskinannya, umur 9 tahun Phiona harus keluar juga dari bangku sekolah.Â
Bersama adik lelakinya, ia kini harus membantu ibunya berjualan jagung dan dari sibuk mendapatkan sedikit upah untuk menjaga kelangsungan konsumsi harian mereka yang minimalis.Â
Seperti apakah hidup sehari-hari di Katwe? lingkungan ekonomi-kultural yang menjadi "lingkaran setan kemiskinan dan pemusnahan imajinasi masa depan"?
Tim Crothers, jurnalis yang pertama kali "menemukan Phiona", menulis seperti ini di laman The Guardian:Â
Katwe (pronounced kah-tway), in the south of Uganda's sprawling, smoggy capital city of Kampala, emerged in the mid-20th century as a place for poor artisans, but developed into the city's most crime-ridden slum. It has scant sanitation and during the rainy season is regularly flooded with raw sewage, with residents sleeping on their roofs to avoid drowning. If you are born in Katwe, the chances are you will die in Katwe. It's estimated that 40% of teenage women in Katwe have children. Â
[Katwe (diucapkan kah-tway), di selatan ibu kota Kampala, Uganda, yang penuh kabut asap, muncul pada pertengahan abad-20 sebagai tempat bagi pengrajin yang miskin, tetapi berkembang menjadi daerah kumuh yang paling penuh kejahatan di kota itu. Memiliki sanitasi yang minim dan selama musim hujan secara rutin dibanjiri limbah mentah, dengan penduduk tidur di atap untuk menghindari tenggelam. Jika Anda lahir di Katwe, kemungkinan Anda mati di Katwe. Diperkirakan 40% remaja perempuan di Katwe memiliki anak]
Jadi, sekilas yang boleh dibayangkan dari hidup Phiona adalah daftar korban selanjutnya.Â
Tapi Phiona atau melalui didikan Harriet ibunya yang luar biasa itu, wajib mengalami "harus milik orang dewasa". Keharusan-keharusan domestik yang ditempuh dalam usia yang masih membutuhkan banyak bermain.Â
Tapi, di Katwe, membayangkan hidup normal atau beruntung adalah sejenis utopianisme produk modernisasi yang timpang.Â
Atau, justru jalan nasib yang normal mungkin tidak pernah melahirkan Phiona. Â
***
Queen of Katwe adalam film bergenre drama biografi yang menulis ulang cerita hidup Phiona Mutesi. Ditulis oleh Tim Crothers, seorang mantan penulis senior pada Sports Illustrated. Tim pertama kali berjumpa Phiona di tahun 2010.Â
Phiona Mutesi adalah nama seorang juara. Seorang perempuan juara catur dari Uganda, yang dalam bahasa asli tidak memiliki padanan kosa kata untuk Chess. Maksudnya, olahraga ini bukan saja baru tapi juga asing. Jadi, Phiona juga adalah seorang perintis.Â
Adalah Robert Katende (diperankan David Oyelowo), seorang pelayan gereja yang mengajarinya bermain catur. Dalam mentoring Robert, hanya dalam 4 tahun, Phiona telah menjadi juara catur internasional. Semuanya bermula dari kebetulan belaka.
Pada suatu sore, di tahun 2005 atau saat itu Phiona baru berumur 9 tahun, dia diam-diam mengekori kakaknya, Brian. Selain rasa penasaran, dia juga berharap memperoleh makanan. Brian pergi ke sebuah beranda berdebu, ke tempat dimana Robert melatih anak-anak bermain catur. Saat melihat bidak hitam putih itu, Phiona tidak memiliki bayangan apa-apa di kepala.Â
Yang muncul justru pertanyaan, "Apa sih yang bikin anak-anak itu (bisa) diam?"
Phiona kemudian melihat anak-anak yang bergembira dan bersemangat karena bermain catur. Ia, dalam hatinya, ingin juga merasakan hal yang sama. Ingin menghabiskan waktu dalam kesenyapan yang menggembirakan.Â
Karena itu, dari sudut pandang penonton kita boleh katakan bidak catur menjumpai Phiona dalam situasi emosi yang sederhana tetapi sejatinya sangat mewah. Emosi khas anak-anak yang dipaksa menjalani kewajiban-kewajiban orang dewasa.Â
Phiona hanya ingin merasakan kegembiraan!
Di tahun 2009, bersama dua bocah laki-laki, Phiona berangkat ke Sudan sebagai wakil Uganda dalam Turnamen Internasional Anak-anak se-Afrika. Â Ini adalah pengalaman pertamanya bepergian dengan pesawat dan jauh dari tanah lahirnya. Dan ketika melihat langit biru serta lautan, ia bertanya, "Apakah itu Surga?"Â
Lalu apa yang dikatakan perempuan muda ini ketika menginap di hotel pertama kalinya?
"Saya merasa seperti Ratu".
Tapi yang paling hebat dari itu semua, tiga bocah dari kampung kumuh juga wakil termuda dalam turnamen berhasil mengalahkan 16 perwakilan lain dari negara-negara Afrika yang lebih berpengalaman.Â
Selanjutnya, di tahun 2010, Phiona terbang ke Rusia untuk bertanding dalam Olimpiade Catur.Â
Dalam alur film yang disutradarai Mira Nair, kita dibawa masuk ke dalam ketegangan demi ketegangan yang menyentuh. Inilah inti pertama dari film berdurasi 124 menit. Sisanya adalah pembelajaran hidup.
Ketegangan yang melukiskan bagaimana manusia harus mengambil pilihan, mengukuhkan keyakinan dan merintis langkah di hadapan kondisi-kondisi yang berat: pemukiman kumuh, debu yang selalu memenuhi udara, hujan yang mengabadikan banjir serta keriuhan pasar yang selalu terik.
Semua yang terlihat hanyalah hidup yang bertahan mengelola keterpurukan.Â
Ibunya yang tabah dan pekerja keras tak kenal mengeluh itu tentu saja marah ketika Phiona membagi waktu bagi hal yang asing.Â
Menyibukan diri bergembira dengan catur adalah sama artinya membuang kesempatan mengumpulkan uang dari hasil menjual dagung -yang tidak seberapa itu. Lagi pula, catur yang menghimpun anak-anak ke dalam kumpulan yang senyap, adalah jenis permainan yang aneh.Â
Untung saja ada Robert Katende, pelayan gereja yang percaya jika Phiona memiliki bakat besar. Ia bukan saja meyakinkan dan memohon Harriet memberikan kesempatan serta percaya pada mimpi-mimpi Phiona. Ia juga mengumpulkan uang untuk mendaftarkan anak asuhnya ke dalam turnamen catur.Â
Tempat dari mana kau berasal bukanlah penghambat dari tempat dimana seharusnya kau berada!
Ini kira-kira kata-kata luar biasa Robert yang menjadi dorongan terbesar bagi Phiona dan banyak anak-anak yang menjadi perintis dari perkembangan olahraga catur di Uganda. Dengan kata lain, kau boleh miskin, berkembang dari keseharian lingkungan yang kumuh, tapi itu semua bukan hambatan menjadi juara catur.Â
Robert yang sederhana itu ternyata memiliki biografi yang suram. Ia hidup dari masa lalu yang penuh dengan ketidakmungkinan mengubahnya. Ia memiliki ibu yang meninggal terlalu muda padahal baru dua tahun dikenalnya. Sementara itu, Robert seperti anak yang sebelumnya tidak diakui. Sesudah lahir, ia lebih banyak diasuh saudara-saudara ibunya.Â
Dan ia melawan nasib yang getir. Ia adalah contoh hidup dari "seni melawan ketidakmungkinan" yang dibutuhkan Phiona dan anak-anak lainnya.Â
Alur film bergerak maju. Phiona meraih pelan-pelan mimpinya menjadi juara catur internasional. Apa yang dahulu dimengertinya sebagai kegembiraan sederhana milik bocah-bocah di depan bidak hitam putih sekarang adalah tanggung jawab besar yang harus dijalaninya untuk mengubah nasib keluarga. Phiona bisa membelikan rumah yang layak untuk ibu dan saudara-saudaranya.Â
Lebih dari itu, menunjukan kepada lingkungan kumuh yang membesarkan dirinya, tempat dari mana kau berasal bukanlah tujuan dari hidupmu di masa depan.Â
Catur telah menjadi "senjata yang memenangkan Phiona melawan ketidakmungkinan warisan nasib buruk".
***
Tapi, ini sebagaimana film yang diadaptasi dari cerita biografis orang-orang kecil yang "melawan ketidakmungkinan nasib", sebagaimana hidup di kawasan kumuh pada daratan Afrika yang seolah hanya memiliki dua matahari dan kegetiran yang gersang, Queen of Katwe telah berhasil membuat saya berjuang menyembunyikan haru.Â
Entah kalau kamu, yang sumbunya terus pendek dimakan pilpres!
Ashiiiiaaapp...
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H