Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tiga Papua di Indonesia Juara

27 Februari 2019   08:33 Diperbarui: 27 Februari 2019   14:46 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedari awal, saya memang meletakan pengharapan yang rendah untuk anak asuh coach Indra Sjafri kali ini.

Saya dan rasanya banyak orang bukan kehilangan optimisme. Bukan itu. Kebanyakan itu hanya tidak ingin selalu mengelola kekecewaan, mengelola sesuatu yang berulang adalah pekerjaan melelahkan, sesuatu yang gagal melulu. Sesuatu yang "pada mulanya tragedi, lantas menjadi komedi"-pliis, kami bukan keledai, PSSI!

Apalagi sesudah Luis Milla yang sukses "menyulap" cara bermain timnas menjadi lebih Indonesia diperlakukan dengan cara-cara tidak profesional. Ditambah juga, skandal pengaturan skor yang menambah keyakinan bahwa kanker korupsi di PSSI sudah terlalu mengerikan. Sudah harus diamputasi dengans segera dan dalam tempo yang sesingkat mungkin.

[Baca juga Kerja Luis Milla dalam Empat Kekaguman]

Dan, sepakbola bundar dan selalu ada gerak klimaks-antiklimaks. Demikian juga dengan perjalanan skuad U-22 di ajang AFF. Mereka berhasil, lagi-lagi, menjadi olahraga sebagai saran memproduksi rasa bangga sebagai bangsa. Saat yang bersamaan, juga merawat emosi nasionalistik di tengah fragmentasi bodoh buah dari perseteruan politik.

Tapi kita sebaiknya tidak mengomentari politik 4.0 yang cuma bisa menciptakan dua jenis manusia: bila bukan perkakas, maka situasi permusuhan yang berlarut-larut saja. 

Lantas apa yang menjadi kekuatan utama dari permainan anak asuhan Indra Sjafri yang berhasil melakukan "pecah telor" sejarah?

Walau Marinus Manewar, dkk menjadi tim yang tidak terkalahkan, mereka sejatinya bermain tidak indah, tidak "Indra Sjafri-ball". Tidak lagi terlihat dominasi operan pendek satu-dua atau umpan pendek menyusur tanah hingga ke garis pertahanan lawan. Tidak terlalu terlihat ball possession yang memperlihatkan filosofi mengendalikan aliran bola adalah setengah jalan dari kemenangan.

Sebaliknya, hemat saya, timnas bermain dengan kombinasi umpan panjang dan manuver dari sepasang sayap. Timnas U-22 edisi AFF 2019 ini memang masih memiliki modal yang mumpuni. Filosofi yang selaras dengan apa yang dikehendaki dalam kitab Filosofi Sepakbola Nasional.

Ada Osvaldo dan Witan Sulaiman yang mobilitasnya di sepasang sayap termasuk yang tertinggi di ajang kali ini. Sedang di depan, ada Marinus yang selalu menggangu bek lawan.

Sepertinya Indonesia bermain dengan pendekatan high-defensive line atau pressing area yang tertib. Para pemain selalu membuat kerapatan di lini tengah ketika kehilangan bola. Dari 4-3-3, transisinya berubah menjadi 4-5-1. Dengan kata lain, dalam skenario bertahan, anak asuh coach Indra kali ini tampil lebih baik.

Walau begitu, ijinkan saya menyoroti kontribusi tiga mutiara muda Papua dalam kerangka kerja tim yang kali ini lebih sukses dalam bertahan.

Tentu saja yang pertama adalah sosok Marinus Marianto Manewar.

Dalam skema permainan yang lebih seimbang dalam bertahan-menyerang di atas, Marinus seperti memainkan peran selayaknya Mario Mandzukic di Juventus yang selalu turun jauh membantu pertahanan. Marinus disipilin merusak skenario menyerang lawan ketika baru dirancang dari garis pertahanan mereka. Marinus juga berhasil mengonversi peluang menjadi gol, tanpa banyak aksi individual seperti Osvaldo atai Rivaldo Todd-Ferre.

Dan khusus Marinus, mutiara Papua ini sukses bermutasi menjadi anak manis yang berbahaya. Secara teknik, dan paling penting secara mental.

Kita tahu provokasi yang bernuansa rasis dari pemain Kamboja tidak membuatnya naik pitam. Indra Sjafri bahkan mengatakan, "Saya bersama Marinus tujuh minggu sekarang minggu ke delapan. Dia cerdas, jangan dipikir dia terpancing, dia bisa kontrol emosi." Sebagaimana dikabarkan Detik.com.

Marinus adalah juara lahir dan batin di ajang kali ini!

Yang kedua, adalah sosok yang membuat gol pengunci kemenangan di final tadi malam, Osvaldo Ardiles Haay. Osvaldo mungkin belum bermain dalam level yang semestinya. Osvaldo masih sering melewatkan momentum atau melakukan kesalahan umpan, kesalahan yang kata pengamat, terlalu elementer.

Di partai pamungkas tadi malam, dia menunjukan kontribusi terbaiknya. Gol sundulannya memang penting membuat Thailand berada dalam tekanan, tapi yang tak kalah penting adalah disiplinnya dalam membantu pertahanan tim ketika berada dalam tekanan atau kehilangan bola.

Osvaldo, Marinus dan semua anggota skuad tahu, mereka yang perlu tetap tenang menjaga keunggulan. Berusaha menjauhkan diri dari Panic Attack.

Satu lagi, yang ketiga, sosok yang saya kira penting disebut dalam konteks tiga Mutiara Papua ini adalah Rivaldo Todd-Ferre-emang ada yang lain?

Benar, anak Sentani ini hanya tampil sebagai pengganti. Benar dia tidak berkontribusi seperti kala diasuh Fachri Husaini. Benar kita tidak melihat aksi dribbling-nya yang khas anak-anak Papua. Tapi, sejauh mata memandang di layar kaca, Rivaldo bermain sebagai penghubung yang baik.

Dalam situasi menyerang, ia segera saja berlari dan melepas umpan. Seperti yang diperoleh Osvaldo namun gagal menghasilkan gol tambahan tadi malam. 

Di saat kehilangan bola, Rivaldo selalu turun hingga ke depan kotak 16. Ia penghubungan yang tertib dalam bertahan, walau kita tahu, jagoan gocek yang memulai karir dari pemain futsal ini memiliki naluri membobol gawang yang tinggi.

***

Dengan kata lain, dalam filosofi yang lebih seimbang dalam bertahan-menyerang, skuad juara Indra Sjafri ini telah tampil sebagai kolektivisme yang disiplin. Tanpa menafikan arti Witan Sulaiman, dkk, saya melihat tiga Mutiara Papua ini telah menjadi anak-anak muda yang bermain dengan disiplin atau kerelaan diri untuk patuh pada kebutuhan tim.

Mereka bertiga adalah pemain dengan kualifikasi penyerang, dan memang di tempat kami, menjadi kiper adalah kutukan!

Mereka bertiga, bagi saya, telah sukses merelakan dirinya untuk menopang kebutuhan sistem kerja tim. Bersama bibit-bibit muda lainnya dari belahan majemuk Indonesia, mereka sukses membuat timnas U-22 menampilkan permainan yang lebih efektif dan liat dalam menjaga pertahan. Tak ada kepanikan yang terlalu, tak terlihat lagi emosi-emosi yang berlebih.

Semua tampak tertib dan fokus pada pengorbanan diri. Demi Indonesia Raya, demi kebanggaan nasional. Dan, politisi sampah berusaha membuat semua itu berbenturan hanya karena siklus elektroral?

Terima kasih anak-anak muda Indonesia. Terima kasih Marinus, Osvaldo dan Rivaldo Todd-Ferre. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun