Benar, anak Sentani ini hanya tampil sebagai pengganti. Benar dia tidak berkontribusi seperti kala diasuh Fachri Husaini. Benar kita tidak melihat aksi dribbling-nya yang khas anak-anak Papua. Tapi, sejauh mata memandang di layar kaca, Rivaldo bermain sebagai penghubung yang baik.
Dalam situasi menyerang, ia segera saja berlari dan melepas umpan. Seperti yang diperoleh Osvaldo namun gagal menghasilkan gol tambahan tadi malam.Â
Di saat kehilangan bola, Rivaldo selalu turun hingga ke depan kotak 16. Ia penghubungan yang tertib dalam bertahan, walau kita tahu, jagoan gocek yang memulai karir dari pemain futsal ini memiliki naluri membobol gawang yang tinggi.
***
Dengan kata lain, dalam filosofi yang lebih seimbang dalam bertahan-menyerang, skuad juara Indra Sjafri ini telah tampil sebagai kolektivisme yang disiplin. Tanpa menafikan arti Witan Sulaiman, dkk, saya melihat tiga Mutiara Papua ini telah menjadi anak-anak muda yang bermain dengan disiplin atau kerelaan diri untuk patuh pada kebutuhan tim.
Mereka bertiga adalah pemain dengan kualifikasi penyerang, dan memang di tempat kami, menjadi kiper adalah kutukan!
Mereka bertiga, bagi saya, telah sukses merelakan dirinya untuk menopang kebutuhan sistem kerja tim. Bersama bibit-bibit muda lainnya dari belahan majemuk Indonesia, mereka sukses membuat timnas U-22 menampilkan permainan yang lebih efektif dan liat dalam menjaga pertahan. Tak ada kepanikan yang terlalu, tak terlihat lagi emosi-emosi yang berlebih.
Semua tampak tertib dan fokus pada pengorbanan diri. Demi Indonesia Raya, demi kebanggaan nasional. Dan, politisi sampah berusaha membuat semua itu berbenturan hanya karena siklus elektroral?
Terima kasih anak-anak muda Indonesia. Terima kasih Marinus, Osvaldo dan Rivaldo Todd-Ferre. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H