Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berisik Politik dan "Pasar Malam" Fiksiana

2 Januari 2019   08:19 Diperbarui: 3 Januari 2019   09:16 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halah, ini juga sejenis idealisme yang naif! Kekanak-kanakan.

Bagaimana mungkin dengan penulis tak bernama, yang mungkin menyusun fiksi untuk melawan rasa sepi, menyusun cerita pendek demi menghadapi ritus harian yang melelahkan, menyusun puisi demi menyampaikan patah hati dengan kata-kata yang telanjang, dibebani dengan perdebatan-perdebatan politik yang tidak nyambung dengan keseharian mereka?

Kamu telah membunuh kemerdekaan berekspresi dan menyatakan dunia sendiri-sendiri, bebas dari paksaan!

Mari simak sebentar kuliah singkat Leon Agusta sebelum masuk pada percakapan yang jauh lebh kecil ruang lingkupnya.


Saya tidak akan berdiri di garis yang seperti di atas itu. Saya memilih melihatnya dalam ilustrasi yang seperti ini.

Saya  membayangkan perjalanan lima tahun ini seperti keramaian yang berjuang di pasar malam. Jika di masa lalu, pasar malam bukan sekadar keramaian sesaat. Ia juga menjadi pusat dari kota kecil yang tidak cukup memiliki fasilitas mencari kesenangan. Membuat anak-anak gembira dan remaja belajar jatuh cinta.

Kehadirannya yang sesaat adalah taktik yang membuatnya selalu dirindukan. Tapi kini, tidak lagi. Sejak kota berlomba-lomba menjadi rumah bagi segala macam perburuan kesenangan. Sejak teknologi membuat kesenangan tumbuh lima langkah dari tempat tidur.

Sekarang, melihat pasar malam adalah menyaksikan sesuatu yang bertahan di pinggiran keramaian. Berusaha terus ada, mengais yang tersisa namun tak lagi menjadi pusat yang dipercakapkan. Memang masih ada orang-orang datang, mungkin demi bernostalgia. 

Misalnya dengan membawa anak-anak mereka sambil bicara, "Dulu Ibu bertemu Ayah di malam yang seperti ini."

Atau, orang-orang itu seperti ingin menyembunyikan ingatan yang tak pantas dari masa lalunya tapi anak-anak terlanjur penasaran dan merengek. Perjumpaan dengan pasar malam akhirnya terjadi dengan cara yang terpaksa.

Fiksiana, memiliki takdir seperti pasar malam yang bertahan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun