Akhir cerita ini tentu saja perlawanan yang berhasil. Dekrit dibatalkan walikota Kenji, serum penyembuh dari flu anjing dipercaya, Atari menjadi walikota yang baru, Spot memiliki istri dan anak dengan masa pensiun yang bahagia. Adiknya dilantik sebagai pengawal Atari yang baru.Â
Semua berbahagia. Megasaki kembali tumbuh dengan hangat persahabatan anjing dan manusia.Â
***
"Isle of Dogs" yang berdurasi 97 menit ini mungkin boleh menjadi pengingat dari ironi hidup manusia modern.Â
Yang menjadikan kebebasan dan pemaksimalan rasio-tenaga yang melahirkan sains dan teknologi-sebagai nilai kunci dalam hidupnya namun kemudian mengalami sejenis penaklukan dan keterasingan di dalamnya.Â
Penaklukan dan keterasingan yang diciptakan sendiri, semacam kutukan lanjutan dari sangkar besi birokrasi yang dikisahkan Max Weber di awal-awal "penemuan rasio" dalam teorisasi sosiologi. Atau yang sekarang muncul dari kritik-kritik terhadap gelombang McDonaldisasi masyarakat yang melengkapi kritik dari "One Dimensional Man"-nya Herbert Marcuse.
Dalam dunia yang seperti itu, segala hal menjadi instrumental, digerakan oleh kontrol oleh efektivitas dan efisiensi selain kecepatan dan maksimalisasi manfaat (keuntungan). Ihwal yang menyebabkan kehangatan emosional atau yang mewek-mewek akan tampak sebagai dekadensi; seolah subyek dalam gangguan irasionalitas. Â
"Isle of Dogs" jelas bukan yang pertama dalam menyuarakan sisi hitam dari modernisme.
Film hitam-putih Modern Times karya Chaplin (1936) telah jauh hari mengisahkan komedi getir manusia untuk survive dalam dunia yang terindustrialisasi. Sedangkan dalam lingkup hidup yang kesepian dan ganjil dari manusia digital, film Her yang disutradarai Spike Jonze (2013) adalah salah satu yang representatif untuk dirujuk.Â
Terakhir, ada film berjudul Zoe yang berkisah hidup seorang ilmuwan, yang selalu rasional dan kaku, kemudian harus jatuh cinta pada robot ciptaannya sendiri-duh!