Tubuh itu masih berusaha bergerak. Terasa kaku dan basah. Wajahnya menghitam, bajunya berasap dan beraroma gosong. Ada jejak merah yang kering di bibirnya. "Kakeek.."
"Siapakah yang tadi bertengkar denganku?"
Semua orang terdiam. "Kakek mengapa juga keluar rumah? Sudah tahu petir sedang marah."
"Siapa yang membuatku marah? Siapaa.." Suaranya lirih.
 "Aku, Mansyur."
Mansyur menatap sesosok perempuan berdiri di sana, di depan pintu, di balik cahaya yang rendah. Tersenyum bersama ompongya yang mulai utuh. Tubuhnya belum susut benar. Matanya itu, mata yang genit dan jenaka.Â
"Kenapa, Nifa?"
"Biar kutahu seperti apa keyakinanmu, apakah ketakutan di bawah hujan dan petir yang menggelegar atau tidak."
"Nifa.."
Mansyur menyebut nama, lirih dan tak berdaya. Matanya berkaca-kaca. Semua orang tak lagi memandang lantai kayu, semua mencari-cari ke segala penjuru. Tiba-tiba, semuanya dibekap gigil di tengkuk.Â
***