Jelas adalah bertindak dzalim jika menyalahkan apalagi sampai menuliskan sumpah serapah karena hasil yang diperoleh tim nasional di ajang Piala AFF edisi 2018, sekalipun kesal memenuhi ubun-ubun.Â
Om Bima Sakti tidak layak disalahkan. Om Bima hanyalah korban dari keputusan. Lebih dari itu, korban kesekian dari mazhab Instanisme, katakan saja begitu, yang demikian pejal.
Kita semua tahu jika buah kerja Luis Milla telah membentuk karakterisitik yang membuat saudara sebangsa-setanah air-setumpah darah bergembira melihat timnas bermain.Â
Mereka bukan saja menyerang dan bertahan dengan tidak bikin malu, mengumpan dan mencetak gol dengan terencana. Mereka juga memiliki daya juang kala membangun "perlawanan terhadap ketidakmungkinan".
Semuanya ini dilakukan dalam masa yang singkat-hanya setahun!-dengan pengetahuan yang terbatas akan sepakbola di sebuah negeri bekas kolonial. Bersama perbedaan bahasa yang bisa dilampauinya.
Dan kita tidak boleh lupa jika timnas relatif tidak "memakan biaya" besar karena tidak sibuk ujicoba di luar negeri. Tidak mengirim tim yang berisi anak-anak muda untuk dicangkokan pada kultur sepakbola Eropa atau Latin, seperti zaman Om Bima Sakti serta dua asistennya dulu. Di Italia, bersama tim Primavera, tahun 1993.
Om Bima Sakti pun tak buruk-buruk amat saat masih bermain. Terutama ketika baru saja pulang dari Italia. Saat-saat itu, saya adalah remaja yang selalu menunggu dan kagum melihat mereka bermain dengan sistem kuncian gaya Italia.Â
Saya juga termasuk yang selalu mencari perkembangan terkini dari alumnus Diklat Salatiga bersama klub FC Luzerne di liga Swiss dengan menanti giliran membaca tabloid olahraga yang baru saja mengumumkan kematiannya itu.Â
Selama tahun 1994-1995 di Luzerne, Om yang dijuluki si Kurus ini hanya bermain 12 pertandingan dan membuat satu gol. Gol sebidji yang membuat dirinya menjadi orang Indonesia pertama yang mencetak gol di liga Eropa. Om Kurus waktu itu masih berusia 19 tahun.
Tapi, Om Bima dan dua kolega eks-Primaveranya bukanlah Jose Mourinho yang memulai karir pelatih sepakbola dari penerjemah selain belajar di sekolah olahraga. Terlalu jauh levelnya dengan Luis Milla.
Walhasil, sebagai masyarakat suporter timnas, sekali lagi kita dijejali dengan ilusi juara. Seolah saja sepakbola kita baru lahir minggu kemarin dan, yang tak kalah penting, dihidupkan dari rumpun mentalitas Abrakadabra!