Om Bima jelas masih butuh waktu yang lama untuk dipandang pantas menyandang gelar murid langsung Luis Milla, bukan sekadar asisten yang kemudian menjadi sasaran kekesalan supoter. Sekali lagi, Om Bima hanya korban dari kultur kerja organisasi PSSI yang bermimpi juara dengan jalan potong kompas.
Persoalannya kemudian, apakah suara-suara warganet akan berdampak pada perubahan yang menyeluruh? Atau lebih persisnya, perubahan apa yang belum disuarakan?
Pembinaan pemain muda? Sudah bosan disuarakan! Kompetisi yang tertata dan profesional? Sama membosankan! Mengulang sistem cangkok sepakbola? Tidak banyak berguna, buang-buang biaya saja.
Memakai jasa pelatih level World Class: juara sebagai pemain dan sebagai pelatih? Baru sekali ini dan gagal berlanjut! Tak mampu bayar gaji, melanggar kontrak, dll, dsb. Duh.
Lantas haruskah aksi boikot bertagar #KosongkanGBK dimassifikasi? Terus dimana nasionalisme kalian?
Nanti dulu. Kita semestinya menyadari ketika kerja besar tidak pernah lahir dari jalan melompat pagar. Maksud saya, terlalu ingin menikmati hasil dan terburu-buru menghakimi kegagalan.Â
Sebenarnya tidak bersalah juga keinginan yang satu ini sebab bertahun-tahun lama kita hanya menikmati kisah-kisah medioker di daratan Asia, bahkan Asia Tenggara!
Dahulu, zaman Om Bima bermain, rasa-rasanya cuma ada Thailand dan Malaysia yang bikin panas dingin. Sekarang dengan Singapura saja sudah berantakan, terlebih menghadapi anak-anak Ho Chi Minh: Vietnam. Termasuk, kelak saat melawan Myanmar dan saudara muda, Timor Leste, akan sangat sulit.
Maksud saya, mereka yang dahulunya seperti sansak dari kaki dan kepala Nusantara, sekarang berlomba-lomba membuang nasib mengenaskannya. Sementara timnas kita serasa berjalan di tempat sesudah tahun-tahun belajar di Belanda, Italia, Uruguay, hingga bolak-balik Bali dan Jakarta saja yang gak kemana-mana juga sih.
Tidak banyak berubah.Â
Tidak progresif dan revolusioner, kata seorang yang mendadak menyangka diri menerima mandat langit untuk menyelamatkan negeri dari kepunahan historis. Maak!