Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Sedikit Catatan dari Komedi Satir "BlacKkKlansman"

31 Oktober 2018   23:53 Diperbarui: 1 November 2018   16:00 1430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah cerita seorang kulit hitam yang mampu menginfiltrasi kelompok rasis pemuja ideologi "White Supremacy" yang dikenal mengerikan dalam sejarah!

Ron Stallworth, kini 65 tahun, adalah orang Afro-Amerika pertama yang bekerja sebagai detektif di Kepolisian Colorado Springs. Lebih serius dari itu, di akhir 1970-an, dia adalah mastermind di balik investigasi atas kelompok Ku Klux Klan (KKK)-selanjutnya akan saya singkat dengan Klan.

Ron muda tak semata pandai membangun kontak yang intensif hingga memperoleh kepercayaan dari pemimpin tertiggi Klan  alias Grand Wizard bernama David Duke. Duke memimpin Klan dari tahun 1974-1979. Ia juga seorang anggota parlemen.

Ron pun boleh mendapat kartu keanggotan, sertifikat Ksatria Klan dan yang lebih penting lagi, sempat dicalonkan sebagai ketua cabang Colorado Springs. Capaian karir yang semuanya dimulai dari pengumuman di sebuah koran.

Bagaimana mungkin seorang Afro-Amerika bisa melakukan aksi seperti ini terhadap kelompok rasis pemuja klaim White Supremacy yang bekerja rapi dan tersembunyi?

Penting dicatat jika, secara faktual, dari dokumen FBI, Ron menemukan keterangan jika Klan telah ada sejak tahun 1921 di Colorado. Hanya dalam dua tahun, keanggotaan mereka diperkirakan berkisar 35.000-40.000. Mereka menguasai Senat dan Parlemen. Memiliki anggota dari tubuh kesatuan militer, memproduksi sejarah kekerasan bahkan sampai disebut "teroris domestik". Sangat kuat.

Ron berhasil menginfiltrasi salah satu cabangnya. 

Kisah heroik ini sudah bisa kita saksikan dalam versi sinematik. Dalam film berjudul BlacKkKlansman yang penyutradaraannya digawangi Spike Lee dan sudah dirilis pertama kali pada 14 Mei 2018 di Cannes Film Festival dan memenangkan Grand Prix. Film ini diadaptasi dari buku yang ditulis Ron sendiri, Black Klansman: Race, Hate, and the Undercover Investigation of a Lifetime yang terbit 31 Juli, 2018 (edisi paper back).

Sebagai pengantar saja, Spike Lee adalah produser, aktor dan sutradara berkebangsaan Amerika. Pada umur 20 tahun, ia sudah membuat film amatir pertamanya. Dalam jagad sinematik, Lee adalah seorang Afro-America yang disebut suka mengelaborasi "topik-topik yang provokatif", seperti rasialisme, politik dan kekerasan. Selain itu, Lee juga pernah bikin film dokumenter tentang Mike Tyson dan Michael Jackson.

So, BlacKkKlansman sepertinya berada di tangan yang tepat (??). Mari kita lihat.

Film berbiaya 15 juta dolar Amerika ini dibuka dengan wawancara kerja yang kocak.

Alur cerita berjalan cepat, Ron (John David Washington) mula-mula diletakan di bagian pengarsipan kasus kejahatan dan semacam database kriminal. Selanjutnya bekerja untuk divisi investigasi narkoba lantas dipindahkah ke seksi pengintaian politik.

Yakni pengintaian terhadap salah satu kelompok pejuang hak-hak sipil kaum Afro-Amerika, Black Panther. Tugas pertamanya adalah mengintai pidato Stokely Carmichael, sang pemimpin kelompok di hadapan mahasiswa. Jadi, Ron disuruh menginteli aktivisme politik kaumnya sendiri.

Pengintaian ini membawanya pada hubungan asmara dengan Patrice Dumas (Laura Harrier), ketua himpunan mahasiswa. Patricie adalah sosok fiktif, kata Ron dalam sebuah wawancara. Karena itu, bisa dimengerti jika mahasiswi yang hitam manis ini adalah usaha menambahkan ketegangan romantik.

Demi apa? Nanti kita lihat di bagian belakang.

Dus, bagaimana Ron bisa mengerjai aktivis Klan yang (semestinya) tertutup, ketat dan tertib? Saat itu, ingatlah, ada dalam bilangan tahun 1970an akhir dan investigasi yang dilakukan berjalan selama 7 bulan.

Yang petama, ia membangun kontak intenstif per telepon dengan dua figure kunci dalam klan. Yang pertama, si Duke dan kedua, dengan ketua cabang Colorado Springs. Dari keduanya, Ron memperoleh informasi tentang aktivitas organisasi dan kepercayaan yang makin tebal.

Selanjutnya, dia juga harus hadir dalam pertemuan-pertemuan anggota Klan. Bagaimana dia mengatasi ini?

Ron kemudian berbagi peran dengan sejawatnya, Flipp Zimmerman (Adam Driver), seorang Yahudi-Amerika. Singkat cerita, Ron Stallworth yang membangun kontak dengan Klan terwujud dalam kehadiran, Ron Hitam dan Ron Putih.

Oh iya, Ron dalam investigasi ini tidak menggunakan nama samaran. Sejak perkenalan di telpon lantas mengucapkan kata-kata yang membuat para petinggi Klan terpukau, ia hadir dengan nama resminya, sesuatu yang sejatinya janggal dalam dunia pengintaian.

Tapi Ron punya alasan yang kuat. Saat itu, teknologi komunikasi belum seperti sekarang. Aktivis Klan kesulitan melakukan pengecekan silang walaupun tetap saja ada yang menaruh curiga.

Dan, yang paling penting, kesan pertamanya sukses membuat para fanatik rasis ini terperangah: Ron menghasilkan kesan kebencian yang total dan bengis terhadap mereka yang bukan bagian dari Ras Putih, seperti Yahudi-Amerika, Afro-Amerika, Hispanik-Amerika, dll.Seperti bahasa iklan pengharum badan, kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.

Selebihnya, kerja investigasi mereka sukses. Kesuksesan yang disempurnakan oleh keberhasilan menggagalkan rencana peledakan bom yang mengincar kematian Patrice. Bom memang meledak namun aktivis perempuan ini selamat.

Terus, apa yang menjadi catatan dari film berbasis kejadian nyata ini-tentu dengan modifikasi sinematiknya?

Kalau Anda membutuhkan komedi satir, Spike Lee sukses menghadirkan komedi dalam beberapa adegan. Atau lebih tepatnya, olok-olok terhadap klaim ras paling unggul dari Klan yang ternyata bisa ditembus oleh teknik investigasi ala Ron dan Flip yang sederhana saja.

Kelompok fanatik selevel Klan di tahun 1970n ternyata tidak memiliki sistem pengawasan yang seharusnya ada dalam organisasi yang menjadikan  kebencian rasial dan kekerasan sebagai politik eksistensialnya. Kalau kata seorang tua di Kompasiana yang sudah mulai istirah: dongoknya sangat sulit dijumlahkan!

Atau, kecurigaan yang harus kita telusuri adalah dalam organisasi yang menghimpun tipe kesadaran fanatik dalam jumlah besar, ada ketakwaspadaan yang sama besarnya. Kelebihan percaya diri memang dekat dengan produksi ketololan.

Tapi, kalau Anda mencari sesuatu yang lebih subtil, menguras emosi kedalam ketegangan, mungkin tidak cukup. Etapi, kenapa harus ada "mungkin"? Ya, karena skala mengukurnya beda-beda.

Bagi Anda yang mungkin sedang jatuh cinta pada aktivis perempuan dan terlunta-lunta di dunia kampus, mungkin akan segera terbakar dan bertekad mulai malam ini juga akan menjadi penjaga hingga akhir waktu. Tidak masalah, siapa yang berhak menghakimi perasaanmu, Mblo?

Akan tetapi, jikalau Anda hendak mencari sudut pandang tentang pergulatan anak manusia di depan dilema dalam bentuk komedikal (baca: mengharu biru sekaligus konyol), rasanya Spike Lee kurang berhasil memunculkannya. Sekali lagi, kurang berhasil bukan tidak digarap, menurut standar ke-sok tahu-an saya.

Salah satu dilema yang muncul sejak awal dalam film adalah benturan posisional antara Patrice dengan Ron. Situasi yang melahirkan pertikaian Patrice dan Ron setelah Ron ketahuan bekerja sebagai intel kepolisian.

"Kamu pengkhianat!" maki Patrice. Tanpa tersedu, seketika berbalik ke massa aksi. Kembali berorasi.

Memang muncul tikai argumen tetapi tidak cukup menjelaskan peliknya posisi Ron sebagai aparatus negara dan sebagai pribadi yang jatuh cinta pada perempuan yang justru menjadi musuh negara. Atau sebaliknya, melihat kepelikan hubungan mereka dari sudut Patrice (lho, ini kan kisah investigasi Ron, kok malah Patrice yang bintang terangnya?)

Begini. Maksud saya tuh, adanya Patrice yang sejatinya fiktif dalam kisah nyatanya, telah gagal melahirkan sensasi romantika yang tragikomedi. 

Terakhir, terlepas dari kegagalan Patrice yang manis, kisah investigasi Ron Stallworth dalam besutan sinematik ini adalah karya kesekian yang mengingatkan bahaya fanatisme rasial pada sebuah negeri yang selama ini selalu memposisikan diri sebagai adikuasa dunia modern. Kemodernan yang ditandai oleh kemenangan rasio ternyata tidak membersihkan fanatisme. Kalau bukan, malah mengasuhnya diam-diam.

Waspadalah, terutama di negerimu sendiri!

***

Sumber yang dirujuk 1, 2, 3 dan 4.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun