Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Terbang dari Pinggiran

17 Oktober 2018   08:02 Diperbarui: 17 Oktober 2018   10:40 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabin Pesawat | rebanas.com

Apa yang kau pikirkan ketika terbang dari pinggiran, dengan orang-orang yang sederhana?

Saya baru sibuk memperhatikan Mama hingga siang yang cerah itu. Dari dalam kabin pesawat ATR 72-500/600. Dalam penerbangan singkat yang melintasi langit Ternate menuju Manado. Penerbangan satu jam saja. Di pembukaan Oktober yang cerah. 

Mama ternyata masih sanggup membaca majalah tanpa berhenti selama itu, apalagi tertidur. Setiap lembar majalah milik maskapai diperiksanya satu-satu, pelan dan menikmati. Khusyuk. Saya malah tertidur--kondisi yang selalu terjadi saat take off--mungkin 20-an menit. Sesudah terjaga, saya baru sadar jika biografi Shalahuddin Al-Ayyubi yang ditulis John Man malah tertinggal di Tana Tinggi.

Maka, kesibukan saya yang seringkali terjadi saat tiada bacaan dalam kabin yang dingin begini adalah memeriksa sekeliling. Memperhatikan para penumpang, gerak-geriknya selama penerbangan, dan menyusun dugaan-dugaan. Lebih baik begitu ketimbang memahami kerja pramugari, mulai dari menyambut di depan pintu, mengecek boarding pass dan membantu meletakan barang di bagasi kabin, menyampaikan pengumuman, memperagakan prosedur keselamatan, hingga mengingatkan saat mendarat sudah dekat. 

Misalnya dengan menelisik mengapa pramugari yang mungkin berumur 23-25 tahun itu terpaksa tersenyum dan ketika penumpang melewatinya, wajahnya yang lelah muncul seketika? Dan mengapa ia tidak menyapu bedaknya dengan rata di pipi sebelah kiri. Sehingga terlihat lapisan kulit yang asli dan, tunggu, matanya terlihat bukan saja lelah tetapi juga menanggung kesedihan. Bahu seperti apakah yang dibutuhkan oleh mereka yang setiap hari harus terbang berpindah-pindah kota? 

Tapi sumpah, saya tidak pernah membayangkan sejenis Sherlock Holmes sedang bekerja. Saya hanya ingin mencari jenis-jenis penumpang, selain dalam diri sendiri, yang hidup di luar sana.

Saya sekadar melihat tiga orang dewasa, yang bergaya turlok, turis lokal. Salah satunya membuat pramugari harus kembali mengingatkan kembali jika sabuk pengaman harus dikencangkan saat mendarat. Bahkan sampai harus mengatakan, "Sabuknya dipasang Pak!" dengan nada setengah kesal. 

Saya terus ingat, sesaat sebelum tertidur, seorang bapak di kursi depan tiba-tiba saja gusar. "Pak, berangkat sendiri saja? Gak sama keluarga?" tanya pramugari berbaju merah yang dilengkapi stoking hitam.  Bapak ini hanya menggeleng. "Saya bisa minta tolong bapak duduk di kursi dekat pintu darurat?"

"Tidak!" disertai gelengan kepala yang tegas. 

Dan ingatan saya terus ke belakang, saat memasuki kabin pesawat setelah menderita delay satu jam, hanya menjumpai kata-kata, "maafkan karena alasan operasional". 

Bukan kali perdana, memang. Juga bukan kali perdana saya menyimpan pertanyaan yang sepertinya akan menjadi penasaran yang abadi: sebenarnya yang disebut alasan operasional itu apa saja? Terlambat ngisi bahan bakar? Bandara terlalu sibuk? Jalanan kota macet dan kru terlambat tiba di bandara? Tidak jelas dan satra papa! Sa baik-baik saja.

Dan itu, siapa itu? Mengapa seperti itu?

Seorang lelaki, mungkin menuju 50 tahun atau bisa jadi umurnya belum lagi melewati 40, duduk memeluk kantung plastik hijau yang kusut seperti rambutnya. Ia seperti memeluk benda paling berharga yang pernah dimiliki. Dia lalu menurunkan meja di balik kursi, meletakan majalah. Tangannya yang satu berusaha menahan lembar-lembar halaman agar tidak tertutup. 

Lelaki ini duduk satu deret di depan saya, di bagian sebelah kanan. Sendiri saja dan dekat jendela. 

Sementara pesawat sedang bersiap lepas landas. Sebentar lagi, pramugari yang lelah itu akan menegurnya. Belum lagi selesai saya membatin, perintah lembut sudah terdengar, "Pak, tolong mejanya dilipat dulu ya. Kita mau terbang."

Apakah lelaki ini baru saja bepergian dengan pesawat? Ya. Dan dirinya tak terlihat seperti sosok yang memaksakan diri seperti turis, ia tetap terlihat datang dari udik. Tapi bukan ini peristiwa seperti ini yang menggelitik alam sadar. Sebagai sesama yang datang dari yang udik, perilaku saya jauh lebih buruk kala pertama kali naik kereta api. Anda boleh membacanya di Berkereta Api, Kesaksian dan Harap dari Pinggiran.

Yang bikin saya terdiam dan kehilangan kata-kata adalah apa yang dilakukannya terhadap bungkusan plastik bermerek. 

Tangannya yang kurus dan berurat mengambil bungkusan plastik, menggigit ujungnya, membuat lubang sobekan lantas menuangkan isi ke dalam mulutnya. Sejenak mulutnya seolah komat-kamit. Persis kelakukan anak-anak terhadap Ovaltine atau Milo sachetan. Sesuatu yang lazimnya diseduh kini diteguk seperti memakan makanan ringan. Tapi bungkus itu bukan Milo atau Ovaltine-yang tidak akan membuat saya kaget karena pernah melakukannya.

Bungkus yang disobeknya itu adalah Indocafe Cappuccino. Makin lama makin terlihat asik. Bersama halaman majalah yang terbuka, dia seolah seorang diri di dalam kabin. Sementara saya mengidap sejenis takjub bercampur haru. Hanya sebentar saja.

Saya terus ingat narasi yang melukiskan konteks yang lebih besar dan rumit dari perkembangan pesat masyarakat manusia bersama teknologi yang ikut berkembang (lebih) pesat di dalamnya.

Menggunakan jasa penerbangan adalah bagian dari memasukan diri sebagai warga mondial (dari pinggiran). Sebagai bagian yang turut serta dalam mobilitas manusia yang cepat. Walau berlangsung dalam skala domestik, poinnya adalah mobilitas yang cepat antar kawasan-dan karena itu delay sesungguhnya adalah peristiwa yang tidak saja kontra-produktif; Delay adalah penyimpangan, tanda dari sistem modern yang disfungsi.

Saya melihat benang merah yang tersambung pada perspektif urbanisasi yang dikembangkan Hans-Dieter Evers. Bahwa terlibat dalam mobilitas cepat manusia global seperti ini juga terlibat ke dalam kehendak untuk konsumsi bersama. Kehendak konsumsi yang hanya disediakan kota-kota, yang berkelindan dengan mimpi-mimpi tentang masa depan anak manusia beserta standar hidup yang lebih baik. 

Kehendak sedemikian yang mendorong orang-orang dari desa (atau pinggiran yang tenang) pergi ke pusat-pusat konsumsi, menuju pada sesuatu yang urban(isme). Akan tetapi, setiap ekologi hidup memiliki daya tampung. Bukan saja fisik dan ruang. Ia juga menuntut prasyarat-prasyarat adaptasi manusia di dalamnya. Maka selalu ada yang tumbuh dan tumbang, selalu terlahir pemenang dan pecundang dalam lansekap besar bernama urbanisme/globalisme.    

Lalu, apakah suasana dalam kabin yang dingin menggambarkan kehendak konsumsi yang diakses dari manusia yang menang dan yang menjadi pecundang? Semacam laboratorium sosial mini yang membantu menduga-duga antara warga pinggiran dan prosedur penerbangan dalam judul besar mobilitas warga mondial.

Ya, tentu saja! Walau kita tidak bisa melakukan perampatan (generalisasi) terhadap perjumpaan-perjumpaan singkat seperti ini. Bahkan mungkin sebagai sesuatu yang kasuistik, belum cukup syarat. Selain itu, yang lebih mendasar adalah, pada tubuh yang menang atau yang menjalani nasib sebagai pecundang, ada riwayat biografis dengan pasang surut yang rumit alias sejarah jatuh bangun yang tidak pernah sederhana.

Dalam situasi seperti ini, lewat penerbangan singkat dari pinggiran, dari lensa amatiran yang beralih peran mendadak pengamat, saya tahu selalu ada batas dari jangkauan urbanisme atau globalisme itu. Batas itu semacam lokalitas yang bukan dalam kapasitas atau niatan melawan yang serba global oriented: kompetisi dan hidup yang serba cepat selayaknya Slow Life Movement yang sedang tumbuh sebagaimana pernah dibahas dalam Hidup Selow Adalah Kunci Kebahagiaan. 

Namun lokalitas pinggiran dengan tipe manusia yang menghadirkan diri dengan caranya sendiri. Yang tidak mengambil pusing pada cara pandang sekitar, apalagi berusaha meletakkan diri sebagai bagian dari gaya hidup sibuk dan serba cepat. Ia semata-mata hadir sebagai "penampakan sesuatu yang udik", sesuatu yang ingin mengalami berkah teknologi transportasi modern tanpa mengalami situasi kikuk atau sok modern. 

Seperti lelaki sok turis yang akhirnya ditegur pramugari yang lelah. Dan saya diingatkan agar selalu berada dalam ketegangan "yang (konon) sibuk dan yang sejatinya udik". 

[Sampit, tengah Oktober 2018]

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun