Saya melihat benang merah yang tersambung pada perspektif urbanisasi yang dikembangkan Hans-Dieter Evers. Bahwa terlibat dalam mobilitas cepat manusia global seperti ini juga terlibat ke dalam kehendak untuk konsumsi bersama. Kehendak konsumsi yang hanya disediakan kota-kota, yang berkelindan dengan mimpi-mimpi tentang masa depan anak manusia beserta standar hidup yang lebih baik.Â
Kehendak sedemikian yang mendorong orang-orang dari desa (atau pinggiran yang tenang) pergi ke pusat-pusat konsumsi, menuju pada sesuatu yang urban(isme). Akan tetapi, setiap ekologi hidup memiliki daya tampung. Bukan saja fisik dan ruang. Ia juga menuntut prasyarat-prasyarat adaptasi manusia di dalamnya. Maka selalu ada yang tumbuh dan tumbang, selalu terlahir pemenang dan pecundang dalam lansekap besar bernama urbanisme/globalisme. Â Â
Lalu, apakah suasana dalam kabin yang dingin menggambarkan kehendak konsumsi yang diakses dari manusia yang menang dan yang menjadi pecundang? Semacam laboratorium sosial mini yang membantu menduga-duga antara warga pinggiran dan prosedur penerbangan dalam judul besar mobilitas warga mondial.
Ya, tentu saja! Walau kita tidak bisa melakukan perampatan (generalisasi) terhadap perjumpaan-perjumpaan singkat seperti ini. Bahkan mungkin sebagai sesuatu yang kasuistik, belum cukup syarat. Selain itu, yang lebih mendasar adalah, pada tubuh yang menang atau yang menjalani nasib sebagai pecundang, ada riwayat biografis dengan pasang surut yang rumit alias sejarah jatuh bangun yang tidak pernah sederhana.
Dalam situasi seperti ini, lewat penerbangan singkat dari pinggiran, dari lensa amatiran yang beralih peran mendadak pengamat, saya tahu selalu ada batas dari jangkauan urbanisme atau globalisme itu. Batas itu semacam lokalitas yang bukan dalam kapasitas atau niatan melawan yang serba global oriented: kompetisi dan hidup yang serba cepat selayaknya Slow Life Movement yang sedang tumbuh sebagaimana pernah dibahas dalam Hidup Selow Adalah Kunci Kebahagiaan.Â
Namun lokalitas pinggiran dengan tipe manusia yang menghadirkan diri dengan caranya sendiri. Yang tidak mengambil pusing pada cara pandang sekitar, apalagi berusaha meletakkan diri sebagai bagian dari gaya hidup sibuk dan serba cepat. Ia semata-mata hadir sebagai "penampakan sesuatu yang udik", sesuatu yang ingin mengalami berkah teknologi transportasi modern tanpa mengalami situasi kikuk atau sok modern.Â
Seperti lelaki sok turis yang akhirnya ditegur pramugari yang lelah. Dan saya diingatkan agar selalu berada dalam ketegangan "yang (konon) sibuk dan yang sejatinya udik".Â
[Sampit, tengah Oktober 2018]
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H