Tidak banyak. Atau terlalu banyak yang tiba-tiba, seperti kurang sabar (atau kurang ide?). Â
Tiba-tiba saja, Wiro terlibat dalam penggagalan kudeta. Tiba-tiba saja ada Dewa Tuak di tengah perjalanan. Tiba-tiba saja ada kerajaan yang sedang mendekati implosi politik. Tiba-tiba saja ada lelaki gendut pesek yang bermain di pohon tepi jurang namun takut jatuh.
Kita memang diajak melihat bahwa kependekaran Wiro bukanlah sesuatu yang sepele, yang berurusan dengan kesumat dendam atau patah hati yang cengeng. Wiro produk kolaborasi ini pun telah diusahakan muncul sebagai agen perubahan dalam tatanan hidup yang terancam kolaps oleh kemunculan kekuatan jahat.
Ya, Wiro atau kisah jagoan dimanapun jarang ada yang melampaui "moralitas oposisi biner", selain melulu tentang keselamatan umat manusia.
Akan tetapi, bagaimana kehadiran aksi kependekaran ini dikontekstualisasi dalam pelukisan tragik yang lebih detil (demi memberi penglihatan yang dalam tentang karakter tokoh) maupun dalam pelukisan sosio-politis yang lebih tajam (demi memberi penglihatan lebih canggih dari perseteruan politik) belum terpenuhi.Â
Sepertinya, sejauh ini, tangan-tangan Hollywod baru membantu produksi dan penjualannya. Tentu saja, kolaborasi perdana ini patut dihargai sebagai bukti karya anak negeri memiliki nilai jual memasuki pasar global, sebagai produk komersil. Yang mungkin masih harus dicari lagi adalah kapasitas menyumbangkan insight yang lebih segar terhadap imajinasi tentang jagon dalam sejarah budaya pop dunia.
Karena itu juga, saya masih menunggu kisah jagoan yang menjadi bacaan wajib zaman SMP ini ditafsir lagi.Â
***
*) Sebagaian besar dari catatan ini telah dimuat di dinding FB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H