Jika mengacu pada hasil, pada gelar, maka buah pekerjaan Luis Milla adalah daftar kegagalan. Gagal meraih emas di SEA Games 2017 dan tidak lolos kualifikasi Piala Asia U-23. Pun di ajang tak resmi, orang Spanyol yang pernah main untuk Real Madrid dan Barcelona ini juga tidak membawa tim juara. Seperti di ajang PSSI Anniversary Cup atau Aceh Solidarity Tsunami Cup.
Jadi Milla harus dipecat, gitu?Â
Sependek yang bisa kita ricek di sosial media atau kanal berita daring, reaksi yang muncul baik dari awam pinggir tribun pun mantan pemain tim nasional, umumnya meminta Milla bertahan. Yang harus mundur malah ketua PSSI #eh
Evan Dimas, misalnya, "Ya kalau saya pribadi ingin tetap Luis Milla, karena dia pelatih yang bagus dan pintar." Senada dengan Hamka Hamzah, baginya Milla telah sukses membuat timnas U-23 bermain impresif dalam Asian Games 2018. "Kelemahan dari Indonesia, satu dua turnamen gagal langsung pecat. Seharusnya dia [Milla] dikontrak bukan setahun atau dua tahun saja," kritiknya.
Tapi kita tahu, Milla dan asistennya tidak dibayar murah. 2 milyar sebulan. Â Yeyen Tumena, mantan stopper "timnas era didikan Italia" bahkan sampai bilang, "Sekarang PSSI punya masalah untuk membayar gaji Luis Milla dan kawan-kawannya, itu yang akhirnya membuat Eduardo (asisten Milla-red) pergi karena permasalahan finansial dan segala macam."
Diperhadapkan dengan bayaran mahal serta gelar yang "nol", mungkin hubungan seperti ini akan bertahan?Â
Saya tidak akan menjelaskan kembali--sebab pasti tidak lebih baik--mengapa keputusan untuk langsung pecat karena gagal ngasih gelar itu adalah seburuk-buruknya mimpi yang dibangun dari ilusi perihal jalan instan. Ardy Nurhadi Shufi, yang juga pemred Pandit Football telah memberi ulasan komplit tentang hal ini. Kalian boleh mencernanya dalam Persoalan Luis Milla adalah Persoalan Sepak Bola Indonesia.Â
Sama halnya, jika kita bertanya, apakah filosofi bermain sepakbola Indonesia mulai mewujud di tangan Milla dalam dua tahun dia bekerja ini, Ardy Nurhadi memberi kita penjelasan yang cukup argumentatif. Milla boleh dikata telah mendorong filosofi tersebut ke arah kenyataan. Â Kalian boleh membacanya pada Memahami "Indonesian Way" Lewat Permaian Skuat Asuhan Luis Milla.Â
Filosofi Sepakbola Indonesia dalam MENYERANG: "Menyerang secara PROAKTIF dengan penguasaan bola KONSTRUKTIF dari lini ke lini berorientasi PROGRESIF ke depan untuk mencetak gol." Â (Kurikulum Pembinaan Sepak Bola Indonesia, PSSI: 2014)
Karena itu, saya hanya ingin membagi sedikit catatan mengapa Luis Milla masihlah opsi yang harus dipertahankan. Ada empat hal mendasar yang mungkin perlu di-stabiloisasi dalam percakapan ini. Â
Pertama, tim nasional U-23 tadi malam tersingkir dengan cara yang membanggakan. Semua yang menyaksikan tahu jika membanggakan di sini bukan saja keberhasilan menyamakan kedudukan sesudah tertinggal. Tapi ini Epic Comeback! kata komentator televisi. Keduanya bahkan terjadi dalam dua kesempatan yang berdekatan, versus Hongkong dan Uni Emirat Arab.Â
Epic Comeback bermaka hidupnya daya juang yang konsisten dalam permainan. Konsisten bukan semata "Pepet terus, Bro. Jangan kasih kendor!" Konsisten adalah mentalitas yang utuh, yang mengintegrasikan pikiran dingin dan emosi yang tenang. Semuanya untuk membuktikan jika "Indonesian Way" dalam sepakbola bukan sekedar teks yang disusun High Performance Unit, PSSI.Â
Dalam durasi kontrak yang pendek, dengan target PSSI yang ambisius paska-pembekuan, dengan pengalaman yang nol besar soal sepakbola Asia, perubahan mentalitas skuad yang diproduksi Milla lewat timnas U-23, bagi saya, adalah capaian luar biasa. Selan itu, kita juga tahu dalam riwayat kepelatihannya, kesuksesan Milla membawa Spanyol U-21 juara piala Eropa tidak dirintis tiba-tiba.Â
Ingatlah Opa Oscar Washington Tabarez yang sejak 2006 dengan Uruguay namun masih belum bisa ngasih Piala Dunia. Â
Kedua, Milla membuat "Indonesian Way" itu sebagai sistem bermain yang tetap menghibur dan prospektif.Â
Kombinasi umpan pendek, seperti yang dimainkan Zulkifli-Evan-Stefano di lini tengah atau serangan dari sayap dengan crossing, membuat kita jauh dari pemandangan yang monoton. Ini memang bukan penemuan orisinil Milla karena permainan berciri "Pe-Pe-Pa" (pendek-pendek-panjang, dalam istilah Indra Sjafri) sudah dikembangan di timnas U-19 asuhan coach Indra.
Maksud saya adalah Milla tidak memaksakan "sesuatu yang asing", yang tidak berakar dari sejarah sendiri sebagai porosnya. Tidak ada Tiqui taca yang dipaksa-paksa ala Indonesia. Milla sendiri pernah bilang kalau pemain Indonesia memiliki kualitas individual yang bagus tapi kesulitan menerapkan ke dalam permainan kolektif.Â
Soal dipaksa-paksa atau katakanlah ujicoba peniruan kreatif terhadap kultur sepakbola juara, kita punya pengalaman dengan proyek Primavera dan Baretti di tahun 1990an. Â Zaman itu, timnas muncul serupa Gli Azzurri dari Nusantara. Â Selanjutnya, PSSI melakukan kegagalan sejenis dengan proyek Sociedad Anonima Deportiva (SAD) di Uruguay. Mengulang kegagalan sejenis yang pernah dilakukan tahun 1980an lewat proyek Binatama dengan lokasi pembelajaran di Brazil.Â
Hasilnya tetap saja gagal menyingkirkan Thailand sebagai Raja Asia Tenggara. Bahkan, belakangan muncul Vietnam yang makin "mengerikan" dan Malaysia yang makin liat menyebalkan.
Ketiga, Milla telah memberikan optimisme--sebagai kulminasi dari dua faktor di atas.Â
Optimisme yang saya maksudkan adalah kegairahan dan rasa percaya bahwa timnas ini sedang di jalur yang tepat. Dengan menyaksikan daya juang dan konsistensi, dengan pemainan menghibur yang berangkat dari sejarah bermain sendiri, apa yang dibayangkan PSSI sebagai jalan baru pembangunan sepak bola nasional di atas telah diwujudkan Milla pelan-pelan.Â
Sebagaimana sudah banyak kritik, sistem pembinaan pemain muda adalah masalah mendasarnya. Selama ini tidak dibenahi lewat pendidikan dan kompetisi yang jelas dan terukur dimana filosofi sepakbola nasional diajar-praktikan, yah, kita masih belum pergi jauh dari "mentalitas tukang sulap" (padahal tukang sulap saja pakai sekolah dan latihan yang intens). Singkat kata, ini kerja panjang, Mblo!
Tapi Milla dengan periode yang singkat, di tengah transisi mewujudkan filosofi sepakbola nasional, telah memberi fondasi yang cukup baik. Fondasi yang membuat kita optimis jika filosofi itu mungkin mengada dalam sejarah baru. Makanya juga, saya kurang setuju Indonesia sekarang sudah tiba di tahapan Performance, bukan Development seperti kata Mbak Sekjend yang syantiik.
Bagaimana mungkin berharap Performance maksimal, crossing yang melintasi tujuh benua saja masih sering tiba di tribun utara. Apalagi bicara soal, apa yang disebut mamas M. Kusnaeni yang serba tahu selukbeluk cabang olahraga, sebagai kapasitas transisi negatif-positif yang baik dalam sepakbola. Wahaaii.
Keempat, Milla adalah pelatih dengan feeling yang jitu. Kemampuannya menganalisa pertandingan adalah jempolan--yaiyalah, pelatih level World Class keless!Â
Yang pertama dari kejelian feeling itu adalah pilihan membawa Stefano Lilipaly dan Beto Goncalves kedalam tim. Keduanya terbukti memberi kontribusi besar dalam membangun serangan dan bikin gol. Â Akan tetapi, tentu saja yang paling keren adalah strateginya yang berhasil membuat Indonesia bangkit dari ketertinggalan.Â
Pada laga pamungkas tadi malam, misalnya. Milla memilih membangun intensitas serangan dengan memasukkan terlebih dahulu Septian David. Pemain Mitra Kukar ini adalah kreator dari gol Beto. Lantas, memasukkan Sadil yang menjadi kreator dari gol Stefano. "Duo SS" ini membuat arus serangan lebih intens dan merepotkan timnas Emirat Arab.Â
So, dari empat kekaguman kelas amatir ini, dari kerja positif-fundamental  yang sudah dibuktikan Milla dalam periode singkat dengan beban mengubah sejarah, janganlah dia langsung diganti. Apalagi kalau belakangan pemecatan itu lebih dikarenakan PSSI gak sanggup bayar gajinya.
Terlaluuu.
*** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H