Tapi Milla dengan periode yang singkat, di tengah transisi mewujudkan filosofi sepakbola nasional, telah memberi fondasi yang cukup baik. Fondasi yang membuat kita optimis jika filosofi itu mungkin mengada dalam sejarah baru. Makanya juga, saya kurang setuju Indonesia sekarang sudah tiba di tahapan Performance, bukan Development seperti kata Mbak Sekjend yang syantiik.
Bagaimana mungkin berharap Performance maksimal, crossing yang melintasi tujuh benua saja masih sering tiba di tribun utara. Apalagi bicara soal, apa yang disebut mamas M. Kusnaeni yang serba tahu selukbeluk cabang olahraga, sebagai kapasitas transisi negatif-positif yang baik dalam sepakbola. Wahaaii.
Keempat, Milla adalah pelatih dengan feeling yang jitu. Kemampuannya menganalisa pertandingan adalah jempolan--yaiyalah, pelatih level World Class keless!Â
Yang pertama dari kejelian feeling itu adalah pilihan membawa Stefano Lilipaly dan Beto Goncalves kedalam tim. Keduanya terbukti memberi kontribusi besar dalam membangun serangan dan bikin gol. Â Akan tetapi, tentu saja yang paling keren adalah strateginya yang berhasil membuat Indonesia bangkit dari ketertinggalan.Â
Pada laga pamungkas tadi malam, misalnya. Milla memilih membangun intensitas serangan dengan memasukkan terlebih dahulu Septian David. Pemain Mitra Kukar ini adalah kreator dari gol Beto. Lantas, memasukkan Sadil yang menjadi kreator dari gol Stefano. "Duo SS" ini membuat arus serangan lebih intens dan merepotkan timnas Emirat Arab.Â
So, dari empat kekaguman kelas amatir ini, dari kerja positif-fundamental  yang sudah dibuktikan Milla dalam periode singkat dengan beban mengubah sejarah, janganlah dia langsung diganti. Apalagi kalau belakangan pemecatan itu lebih dikarenakan PSSI gak sanggup bayar gajinya.
Terlaluuu.
*** Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI