Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kerja Luis Milla dalam Empat Kekaguman

25 Agustus 2018   11:06 Diperbarui: 26 Agustus 2018   05:43 2473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Epic Comeback bermaka hidupnya daya juang yang konsisten dalam permainan. Konsisten bukan semata "Pepet terus, Bro. Jangan kasih kendor!" Konsisten adalah mentalitas yang utuh, yang mengintegrasikan pikiran dingin dan emosi yang tenang. Semuanya untuk membuktikan jika "Indonesian Way" dalam sepakbola bukan sekedar teks yang disusun High Performance Unit, PSSI. 

Dalam durasi kontrak yang pendek, dengan target PSSI yang ambisius paska-pembekuan, dengan pengalaman yang nol besar soal sepakbola Asia, perubahan mentalitas skuad yang diproduksi Milla lewat timnas U-23, bagi saya, adalah capaian luar biasa. Selan itu, kita juga tahu dalam riwayat kepelatihannya, kesuksesan Milla membawa Spanyol U-21 juara piala Eropa tidak dirintis tiba-tiba. 

Ingatlah Opa Oscar Washington Tabarez yang sejak 2006 dengan Uruguay namun masih belum bisa ngasih Piala Dunia.  

Kedua, Milla membuat "Indonesian Way" itu sebagai sistem bermain yang tetap menghibur dan prospektif. 

Kombinasi umpan pendek, seperti yang dimainkan Zulkifli-Evan-Stefano di lini tengah atau serangan dari sayap dengan crossing, membuat kita jauh dari pemandangan yang monoton. Ini memang bukan penemuan orisinil Milla karena permainan berciri "Pe-Pe-Pa" (pendek-pendek-panjang, dalam istilah Indra Sjafri) sudah dikembangan di timnas U-19 asuhan coach Indra.

Maksud saya adalah Milla tidak memaksakan "sesuatu yang asing", yang tidak berakar dari sejarah sendiri sebagai porosnya. Tidak ada Tiqui taca yang dipaksa-paksa ala Indonesia. Milla sendiri pernah bilang kalau pemain Indonesia memiliki kualitas individual yang bagus tapi kesulitan menerapkan ke dalam permainan kolektif. 

Soal dipaksa-paksa atau katakanlah ujicoba peniruan kreatif terhadap kultur sepakbola juara, kita punya pengalaman dengan proyek Primavera dan Baretti di tahun 1990an.  Zaman itu, timnas muncul serupa Gli Azzurri dari Nusantara.  Selanjutnya, PSSI melakukan kegagalan sejenis dengan proyek Sociedad Anonima Deportiva (SAD) di Uruguay. Mengulang kegagalan sejenis yang pernah dilakukan tahun 1980an lewat proyek Binatama dengan lokasi pembelajaran di Brazil. 

Hasilnya tetap saja gagal menyingkirkan Thailand sebagai Raja Asia Tenggara. Bahkan, belakangan muncul Vietnam yang makin "mengerikan" dan Malaysia yang makin liat menyebalkan.

Ketiga, Milla telah memberikan optimisme--sebagai kulminasi dari dua faktor di atas. 

Optimisme yang saya maksudkan adalah kegairahan dan rasa percaya bahwa timnas ini sedang di jalur yang tepat. Dengan menyaksikan daya juang dan konsistensi, dengan pemainan menghibur yang berangkat dari sejarah bermain sendiri, apa yang dibayangkan PSSI sebagai jalan baru pembangunan sepak bola nasional di atas telah diwujudkan Milla pelan-pelan. 

Sebagaimana sudah banyak kritik, sistem pembinaan pemain muda adalah masalah mendasarnya. Selama ini tidak dibenahi lewat pendidikan dan kompetisi yang jelas dan terukur dimana filosofi sepakbola nasional diajar-praktikan, yah, kita masih belum pergi jauh dari "mentalitas tukang sulap" (padahal tukang sulap saja pakai sekolah dan latihan yang intens). Singkat kata, ini kerja panjang, Mblo!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun